Bisnis.com, JAKARTA – Emiten jasa kontraktor pertambangan PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) akan berupaya memulihkan kinerja pada 2021 mendatang. Upaya menjaga likuiditas dan pencarian kontrak baru menjadi beberapa strategi utama
Direktur Delta Dunia Makmur Eddy Porwanto mengatakan, perusahaan masih akan fokus menjaga likuiditas dengan efisiensi biaya dan menekan pengeluaran-pengeluaran non esensial lainnya. Ia mengatakan, kinerja perusahaan bergantung pada pergerakan harga batu bara dan pemulihan ekonomi pada 2021 mendatang.
“Tekanan terhadap harga batu bara amat signifikan, di sisi lain kami juga belum mengetahui secara pasti kapan pandemi virus corona akan usai,” katanya dalam paparan publik perusahaan secara daring pada Jumat (18/12/2020).
Selain itu, DOID juga akan terus berupaya mencari kontrak baru sepanjang tahun depan. Pada September 2020, kontrak pertambangan oleh PT Kideco Jaya Agung melalui entitas anak usaha DOID, PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) telah usai.
Kontrak pertambangan dengan Kideco Jaya Agung, anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY), merupakan salah satu kontrak terbesar yang dimiliki perseroan, atau sekitar 9,3 persen dari total keseluruhan volume kontrak tambang BUMA.
Sesuai dengan rencana tersebut, DOID akan menganggarkan capital expenditure (capex) di kisaran US$100 juta. Dana tersebut terutama akan digunakan untuk pembelian alat-alat tambang baru.
Baca Juga
Ia melanjutkan, kinerja DOID pada 2021 kemungkinan besar akan pulih dari dampak negatif pandemi virus corona yang diderita pada 2020. Menurutnya, kinerja keuangan dan operasional perusahaan akan membaik di tahun 2021.
“Untuk kembali ke level periode 2018-2019 sepertinya belum akan terjadi pada tahun depan. Kemungkinan kembali ke posisi tersebut baru dapat terjadi pada 2022,” ujarnya.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, DOID membukukan pendapatan sebesar US$494,17 juta hingga kuartal III/2020. Pencapaian itu turun 28,41 persen dibandingkan dengan US$690,33 juta perolehan pada kuartal III/2019.
Adapun, kontribusi pendapatan terbesar berasal dari PT Berau Coal sebesar US$237,35 juta atau sekitar 48 persen dari keseluruhan total pendapatan, disusul oleh pendapatan dari PT Adaro Indonesia sebesar US$62,03 juta sekitar 13 persen, dan dari PT Indonesia Pratama sebesar US$50,48 juta sekitar 10 persen dari keseluruhan pendapatan.