Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak terpantau naik tipis setelah militan Irak menyerang dua sumur minyak di daerah utara Baghdad negara Irak yaitu Kirkuk, membalikkan posisi negatif pada awal perdagangan akibat lonjakan stok di Amerika Serikat.
Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (9/12/2020), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman bulan Januari 2021 di bursa Nymex terpantau menguat 1,1 persen ke level US$46,1 per barel hingga pukul 16.36 WIB.
Sementara, harga minyak Brent untuk kontrak bulan Februari 2021 di bursa ICE juga naik 1,11 persen dan berada di kisaran US$49,38 per barel hingga pukul 16.37 WIB.
Polisi di wilayah setempat mengatakan bahwa tim pertahanan sipil sedang mencoba untuk memadamkan api di sumur kawasan Khabbaz. Dampaknya terhadap produksi minyak mentah di kawasan tersebut memang sangat kecil, namun serangan tersebut mengingatkan potensi kekerasan yang mengganggu pasokan di Timur Tengah.
American Petroleum Institute meramal adanya peningkatan persediaan bahan bakar minyak sebanyak 6,44 juta barel, jumlah terbesar sejak April tahun ini. Hal itu terjadi ketika kasus Covid-19 meningkat di negara bagian pesisir AS dan data menunjukkan lalu lintas transportasi menurun di New York, Amerika Serikat.
Irak pun telah mengalami berbagai serangan sejak penggulingan Saddam Hussein, dengan ISIS membatasi sebagian besar ekspor di bagian utara negara itu.
Baca Juga
Meskipun terdapat periode yang relatif stabil ditandai dengan produksi yang meningkat tajam selama beberapa tahun terakhir, namun negara tersebut masih rentan terhadap ketegangan.
Kenaikan harga minyak mentah juga dibantu oleh reli di pasar global di tengah harapan dukungan stimulus AS yang berkelanjutan.
Harga minyak Brent juga telah dibatasi di bawah $50 sejak OPEC+ memutuskan untuk perlahan menambah pasokan kembali ke pasar pekan lalu. Meskipun begitu, pengembangan vaksin Covid-19 juga membantu mendorong harga mendekati level tertingginya dalam 9 bulan terakhir.
Analis komoditas di UBS Group AG, Giovanni Staunovo mengatakan level harga US$50 seperti magnet untuk minyak Brent.
“Mengingat sebagian besar produksi berasal dari selatan, berita Irak seharusnya tidak terlalu berdampak,” ungkapnya dikutip dari Bloomberg, Rabu (9/12/2020).
Dia berpendapat, gangguan apa pun tidak akan berdampak signifikan pada total produksi atau ekspor minyak dari Irak atau wilayah Kurdistannya. Sebagian besar produksi Irak berasal dari ladang di area selatan negara tersebut. Sementara, ladang minyak di bagian utara dikendalikan Kurdi.
Sepanjang tahun ini, ekspor minyak dari bagian utara Irak melalui pelabuhan Turki di Ceyhan rata-rata mencapai lebih dari 500 ribu barel per hari, dengan hanya sekitar 15 persen dari total ekspor atau 80 ribu barel per hari dijual oleh pemerintah pusat.
Irak juga tengah bersiap untuk menandatangani kontrak bernilai miliaran dolar dengan China ZhenHua Oil Co. Bailout dari Beijing ini dianggap mampu membantu pemerintah yang kekurangan dana dengan penerimaan uang di muka terlebih dahulu sebagai imbalan atas pasokan minyak mentah jangka panjang.
China, melalui perusahaan perdagangan dan bank yang dikendalikan negara, memberikan pinjaman kepada produsen minyak yang kesulitan seperti Angola, Venezuela, dan Ekuador, dengan pembayaran dalam bentuk barel minyak bukan dengan uang tunai.
Jatuhnya harga minyak tahun ini memang telah menekan anggaran Irak dan pemerintah dikonfirmasi telah gagal membayar guru dan pegawai negeri tepat waktu.
Sumber Bloomberg menyebut agensi Irak yang bertanggung jawab atas ekspor minyak bumi, SOMO, memilih ZhenHua setelah memberikan penawaran kepada banyak pedagang minyak.
Juru bicara kabinet Hassan Nadhim mengatakan pada hari Selasa (8/12/2020) lalu bahwa ada beberapa tawaran yang datang dan klausulnya sedang dipelajari sebelum Perdana Menteri Mustafa Al-Kadhimi membuat keputusan akhir.
Berdasarkan ketentuan surat yang dikirim SOMO bulan lalu, pemenang tender akan membeli 4 juta barel sebulan, atau sekitar 130.000 per hari.
Mereka akan membayar di muka untuk persediaan satu tahun, yang dengan harga saat ini akan menghasilkan lebih dari US$2 miliar, menurut perhitungan Bloomberg. Kesepakatan itu berjalan selama lima tahun, tetapi pembayaran di muka hanya dilakukan untuk satu tahun.
Semua produsen utama minyak mentah memang terpukul akibat koreksi harga yang disebabkan oleh penyebaran virus Covid-19. Tetapi untuk Irak, yang mana minyak mentah menyumbang hampir semua pendapatan pemerintah, pertumbuhan ekonominya berada pada posisi yang lebih buruk daripada kebanyakan negara produsen minyak.
IMF meramal ekonomi Irak akan terkontraksi 12 persen tahun ini, lebih dalam dari anggota OPEC+ lain yang masih memotong kuota produksinya.
Dalam kesepakatan pembayaran di muka, pembeli minyak secara efektif menjadi pemberi pinjaman bagi Irak yang mana minyak adalah jaminan dari pinjaman tersebut.
Keadaan yang tertekan seperti saat ini akibat virus corona membuat pemerintah lebih sulit mengumpulkan uang secara lebih konvensional, seperti melalui pasar obligasi.
Imbal hasil obligasi global negara tersebut rata-rata berkisar 7,5 persen, level tertinggi di antara negara manapun di dunia ini. Tetapi, Goldman Sachs Group Inc. mengatakan bahwa Irak adalah salah satu penerbit obligasi paling rentan pada 2021 mendatang.
Pembayaran di muka untuk kontrak minyak mentah Irak tersebut adalah salah satu yang terbesar dalam sejarah baru-baru ini, meskipun kurang dari rekor US$10 miliar yang dikumpulkan Rosneft yang dikelola pemerintah Rusia pada 2013 dari perusahaan perdagangan Vitol Group dan Glencore Plc.
Selain ukurannya, kesepakatan dengan Irak jarang terjadi karena memungkinkan pemenang tender untuk mengirimkan minyak mentah ke mana saja selama setahun.
Biasanya, minyak mentah Timur Tengah dijual dengan klausul ketat yang mencegah pedagang dan penyuling menjual kembali minyak ke berbagai wilayah.
Pengecualian klausul itu mungkin dipandang cukup menguntungkan untuk mengkompensasi fakta bahwa dana pra pembayaran secara efektif bebas bunga untuk Irak. Memang, suatu negara umumnya diharuskan membayar bunga untuk uang yang diterimanya di muka.