Bisnis.com, JAKARTA - Produksi minyak Libya meningkat pesat menuju satu juta barel per hari seiring dengan gencatan senjata perang saudara yang telah mengekang produksi sebelumnya telah berangsur mereda.
Berdasarkan data National Oil Corp (NOC), perusahaan minyak milik Libya, produksi minyak mentah negara itu telah mencapai 800.000 barel per hari pada pertengahan Oktober, naik drastis daripada awal September yang kurang dari 100.000 barel per hari.
Ketua National Oil Corp Mustafa Sanalla mengatakan bahwa pihaknya menargetkan tingkat produksi dapat mencapai 1,3 juta barel per hari pada awal 2021.
Kemudian, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 1,6 juta barel setiap harinya pada akhir 2021, atau sekitar tingkat produksi yang sama seperti sebelum pemberontakan pada 2011 untuk menggulingkan mantan diktator Muammar al-Qaddafi.
“Peningkatan produksi itu juga akan bergantung terhadap NOC untuk mendapatkan cukup uang dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak dan terbengkalai,” ujar Sanalla seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (2/11/2020).
Untuk diketahui, industri minyak Libya sebagian besar ditutup pada pertengahan Januari 2020 ketika kelompok tentara oposisi yang dipimpin Khalifa Haftar melakukan blokade terhadap saluran pipa hingga akses ekspor di infrastruktur energi Libya.
Baca Juga
Akibat hal tersebut, produksi minyak dari Libya terus tertekan sehingga memberikan gangguan pasokan terhadap persediaan global secara keseluruhan. Namun, pada medio September Haftar mencabut blokade dan Libya mendapatkan kesempatan untuk membuka kembali industri minyaknya.
Kebangkitan produksi Libya itu telah mengejutkan para trader dan membebani harga minyak mentah seiring dengan kekhawatiran penyebaran Covid-19 gelombang kedua yang telah menghantam permintaan energi global.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (2/11/2020) harga minyak jenis WTI untuk kontrak Desember 2020 di bursa Nymex anjlok hingga 3,94 persen ke posisi US$34,38 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Desember 2020 di bursa ICE turun 3,51 persen ke level US$36,61 per barel.
Di sisi lain, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia diproyeksi menunda peningkatan produksinya pada awal tahun depan akibat peningkatan produksi Libya itu.
Namun, Libya yang juga anggota OPEC mengaku tertarik untuk berkoordinasi dengan kelompok itu untuk mencapai keseimbangan pasar minyak, seperti ikut memangkas produksi meski perang saudara telah membebaskan Libya dari kebijakan pemangkasan produksi sejak awal tahun ini.
Tim Analis Monex Investindo Futures menjelaskan dalam publikasi risetnya bahwa harga minyak berpotensi terus menurun dipicu sentimen kekhawatiran pasar terhadap proyeksi pasokan minyak global yang akan melimpah.
“Harga minyak berpotensi Sell jika harga menembus ke bawah US$33,60, menguji kisaran US$31,20 - US$32,45 per barel. Sebaliknya, jika naik ke atas level US$34,9 per barel harga minyak berpotensi Buy menguji kisaran US$35,85 - US$36,55 per barel,” tulis Monex Investindo Futures dalam publikasi risetnya, dikutip Senin (2/11/2020).