Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpilihnya Biden di Pilpres AS Buat OPEC Sakit Kepala, Kenapa?

Biden berencana untuk membawa salah satu negara produsen minyak besar, Iran, kembali mengikuti perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Aktivitas di kilang minyak Nasiriyah, Irak./Bloomberg.
Aktivitas di kilang minyak Nasiriyah, Irak./Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA – Kemenangan kandidat presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, pada pemilihan presiden AS 3 November mendatang mengancam upaya Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk mengendalikan pasokan minyak harian ditengah tren penurunan harga.

Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (29/10/2020), Biden berencana untuk membawa salah satu negara produsen minyak besar, Iran, kembali mengikuti perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Rencana tersebut akan berdampak pada pengurangan sanksi terhadap Iran yang saat ini diberlakukan oleh Presiden Donald Trump. Hal ini akan berimbas pada kemampuan produksi minyak harian Iran yang dapat mencapai 2 juta barel per hari.

Prospek tambahan produksi ini kian menyulitkan upaya OPEC dan negara-negara pengeskpor minyak lain, atau OPEC+, dalam membatasi pasokan minyak harian di dunia. Saat ini, OPEC tengah mengerem produksi minyak harian ditengah anjloknya harga komoditas ini sebesar 41 persen secara tahunan.

Pada April lalu, OPEC+ menyetujui rencana pembatasan produksiminyak harian sebesar 9,7 juta barel per hari, atau 10 persen dari total pasokan minyak dunia.

OPEC+ juga tengah mengkaji rencana penambahan pasokanminyak dunia untuk bulan Januari ditengah lonjakan kasus virus corona di Eropadan limpahan produksi minyak dari Libya.

Berdasarkan data dari Bloomberg pada Kamis (29/10/2020), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak Desember 2020 terpantau menurun 0,32 persen ke level US$37,27 per barel.

Sementara itu, harga minyak mentah Brent kontrak Desember 2020 juga tergelincir 0,43 persen ke posisi US$38,95 per barel.

Managing Director FGE Iman Nasseri mengatakan, lonjakan produksi minyak dari Iran kemungkinan akan memasuki pasar beberapa bulan setelah Biden memenangkan pemilu AS.

“Ini akan menimbulkan sakit kepala yang luar biasa untuk OPEC,” katanya.

Sejumlah bank di Wall Street seperti Goldman Sachs Group Inc., JPMorgan Chase & Co. dan RBC Capital Markets LLC memperkirakan, kemenangan Biden akan menambah produksi minyak Iran sebesar 1 juta barel per hari.

Sementara itu, data dari Bloomberg menyatakan, kapasitas produksi minyak Iran secara maksimal adalah sebesar 3,8 juta barel per hari. Saat ini, tingkat output minyak Iran berada di kisaran 50 persen dan mayoritas digunakan untuk konsumsi domestik.

Meski demikian, hal ini belum dapat dipastikan. Kesepakatan AS dan Iran untuk menjual lebih banyak minyak masih harus menunggu pemilu negara di kawasan Teluk Persia itu pada Juni 2021. Sejumlah analis memperkirakan, kesepakatan ini dapat terjadi apabila kubu konservatif memenangan pemilihan tersebut.

Diperkirakan, pemerintah Iran akan meminta sejumlah persyaratan kepada AS sebelum kembali mengikuti kesepakatan nuklir yang dibuat Biden bersama Presiden AS saat itu, Barack Obama, pada 2015 lalu.

Di sisi lain, kebijakan baru untuk Iran akan menghadapi tentangan dari Kongres AS dan masyarakat Negeri Paman Sam tersebut. Kendati demikian, Biden diperkirakan akan menggunakan wewenangnya untuk mengeluarkan aturan guna memperbolehkan pembelian minyak dari Iran.

“AS sudah pernah melakukan langkah ini sebelumnya, dan Biden kemungkinan besar akan memanfaatkan wewenangnya sebagai presiden untuk mengeluarkan peraturan tersebut,” kata Nasseri.

DI sisi lain, AS juga perlu memperhatikan sekutu lain yang berada di kawasan teluk, salah satunya adalah Arab Saudi. Negara eksportir minyak terbesar di dunia yang juga merupakan rival geopolitik terbesar Iran itu kemungkinan akan terdampak negatif dari kebijakan Biden.

Karen Young, analis dari American Enterprise Institute di Washington mengatakan, rencana pengurangan sanksi minyak kepada Iran pada 2021 bukan merupakan langkah yang ideal. Hal tersebut karena potensi reaksi negatif negara-negara eksportir minyak di kawasan yang sama, termasuk Arab Saudi.

“Sebaiknya AS menawarkan paket bantuan atau melepas uang Iran ke rekening internasional. Bantuan ekonomi seperti ini menjadi insentif bagi Iran untuk kembali bernegosiasi dengan AS,” ujar Young.

Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, sanksi terhadap Iran diperkretan dan angka penjualan minyak mentah negara tersebut anjlok dibandingkan dengan 4 tahun lalu.

Trump merevisi kebijakan Presiden Obama yang meringankan sanksi Iran di sektor minyak seiring dengan kesediaan Iran membatasi aktivitas pengembangan nuklir.

Setelah sanksi tersebut direlaksasi, Iran menambah produksi minyaknya sebesar 1 juta barel per hari dari sebelumnya 2,8 juta barel per hari menjadi 3,8 juta barel per hari. Pada periode Januari – April 2016, angka ekspor minyak mentah Iran mencapai 700 ribu barel per hari.

Eks perwakilan Iran di OPEC, Mohammad Ali Khatibi mengatakan, Biden dapat membawa Iran kembali ke meja perundingan.

“Jika Biden kembali memberlakukan JCPOA dan mempertimbangkan permintaan Iran, nilai ekspor minyak Iran akan naik. Namun, jika ia mengikuti kebijakan Trump dan membuat isu regional dan hak asasi manusia sebagai awalan untuk meringankan sanksi pada Iran, situasinya tidak akan berubah signifikan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper