Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sentimen seperti kejelasan paket stimulus Amerika Serikat dan kebijakan China akan mewarnai pergerakan harga batu bara di sisa tahun 2020.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Selasa (6/10/2020), harga batu bara Newcastle berjangka untuk kontrak Januari 2021 masih parkir di zona hijau, di level US$64,4 per ton atau naik 0,78 persen. Pada penutupan perdagangan sebelumnya, harga menguat hingga 1,91 persen.
Harga batu bara telah menguat hingga 20,37 persen sejak menyentuh level terendahnya pada satu bulan lalu di level US$53,5 per ton. Kendati demikian, sepanjang tahun berjalan 2020 harga batu bara masih terkoreksi 12,2 persen.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, kenaikan harga batu bara yang terjadi selama beberapa hari belakangan disebabkan oleh sentimen – sentimen seperti kabar sembuhnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump dari virus corona dan pembicaraan paket stimulus fiskal.
Meski sempat menunjukkan tren kenaikan, Ibrahim memprediksi harga batu bara dunia akan mengalami penurunan. Ia menjelaskan, transaksi batu bara internasional menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Namun, di sisi lain, kondisi di AS belum menunjukkan sentimen positif yang dapat mengerek naik harga batu bara.
Menurut Ibrahim, perhatian pelaku pasar tengah tertuju pada mandeknya pembicaraan paket stimulus fiskal yang dihentikan oleh Presiden AS Donald Trump. Ia menghentikan perundingan stimulus tersebut hingga pemilihan presiden di AS rampung. Padahal, sentimen ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar.
Baca Juga
“Ini membuat kegaduhan di pasar yang membuat harga batu bara turun,” katanya saat dihubungi pada Rabu (7/10/2020).
Ia melanjutkan, pergerakan harga batu bara kemungkinan akan kembali mengalami penurunan. Selain ketidakpastian stimulus fiskal AS, permintaan batu bara dunia pada saat ini juga tengah menurun karena pandemi virus corona.
Hal tersebut juga diperberat dengan rencana sejumlah negara yang hendak beralih ke sumber tenaga lain seperti sinar matahari, air, angin, dan lainnya. Sentimen ini akan semakin menekan permintaan dan harga batu bara dalam beberapa waktu ke depan.
Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan pergerakan harga batu bara dibayangi oleh prospek permintaan yang belum membaik akibat pandemi virus corona. Hal ini juga ditambah dengan isu-isu lingkungan yang menimpa komoditas ini.
Namun, menurutnya prospek harga batu bara masih memiliki peluang untuk naik. Hal ini ditopang oleh kebijakan China sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Menurutnya, kebijakan China memang telah dirancang untuk mendorong kenaikan harga komoditas ini
“Beberapa strategi China seperti memanfaatkan harga yang turun untuk menimbun batu bara sehingga nantinya akan memicu rebound harga,” jelasnya.
Ia melanjutkan, meski resesi ekonomi telah terjadi pada sebagian besar negara, harapan pasar akan munculnya stimulus besar secara moneter maupun fiskal juga akan memicu kenaikan harga batu bara.
Hal tersebut, lanjutnya, akan memicu terjadinya reflationary trade yang juga telah didukung oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Wahyu menjelaskan, saat ini The Fed menggunakan target rata-rata inflasi yang diperolehkan melewati 2 persen tanpa harus mengubah kebijakannya.
“Ini sangat akomodatif dan longgar dan dapat memicu pelemahan dolar AS dan menguatkan lawan dolar AS seperti mata uang lain dan komoditas, termasuk batu bara,” jelasnya.
Wahyu melanjutkan, harga batu bara telah memicu inflasi AS melebihi batas 2 persen. The Fed juga tengah membiarkan hal ini hingga pasar tenaga kerja kembali ke level optimal sebelum mengambil tindakan.
“Pembiaran ini memang jadi angin segar bagi harga komoditas, termasuk batu bara, melawan dolar AS dan pastinya bursa saham AS serta global,” imbuhnya.