Bisnis.com, JAKARTA – Saham PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. Langsung melesat pada hari pertama perdagangan setelah stock split pada Senin (14/9/2020).
Emiten berkode efek SIDO tersebut melakukan stock split dengan rasio 1:2, sehingga jumlah saham beredar SIDO sebanyak 15 miliar saham dan bertambah menjadi 30 miliar saham setelah stock split.
Berdasarkan data Bloomberg, saham SIDO mengawali perdagangan di level Rp750 per saham dan langsung melonjak 7,69 persen atau 57,5 poin ke level Rp805 per saham.
Perseroan memutuskan melakukan pemecahan nilai nominal saham atau stock split dengan nilai nominal baru Rp50. Adapun, akhir perdagangan saham dengan nominal lama yakni Rp100 per saham di pasar reguler dan pasar negosiasi terakhir pada 11 September 2020.
Sementara itu, untuk perdagangan saham dengan nilai nominal baru di pasar tunai akan berlangsung pada Rabu (16/9/2020).
Berdasarkan harga akhir dengan nominal lama pada perdagangan Jumat (11/9/2020) saham SIDO terparkir di level Rp1.495, naik 7,94 persen daripada perdagangan sebelumnya.
Baca Juga
Dengan demikian, berdasarkan harga teoretis untuk pedoman tawar menawar dan perhitungan Indeks Harga Saham di Bursa Efek Indonesia harga saham SIDO setelah stock split berada di kisaran Rp747,5 per saham.
Direktur Keuangan Sido Muncul Leonard menjelaskan bahwa aksi stock split tersebut dilakukan untuk dapat meningkatkan likuiditas.
“Tujuannya [stock split] adalah meningkatkan likuiditas supaya banyak investor ritel lainnya bisa investasi di SIDO,” kata Leonard dalam paparan publik perseroan yang difasilitasi oleh Bursa Efek Indonesia, Kamis (27/8/2020).
Di sisi lain, dalam beberapa perdagangan terakhir saham-saham farmasi kerap menjadi penghuni jajaran top gainers dalam indeks harga saham gabungan (IHSG) seiring dengan sentimen perkembangan vaksin Covid-19.
Head of Research Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan pelaku pasar memang sangat responsif menanggapi pemberitaan mengenai perkembangan rencana produksi massal vaksin Covid-19 dalam negeri yang telah masuk tahapan uji coba.
Ia menilai, emiten farmasi dengan kinerja keuangan yang cukup stabil seperti PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) dan SIDO sebenarnya jauh lebih prospektif dibandingkan dengan emiten farmasi milik negara, seperti PT Kimia Farma Tbk. (KAEF) dan PT Indofarma Tbk. (INAF).
"Hanya saja mereka (KLBF dan SIDO) tidak banyak mendapat proyek pengembangan vaksin pemerintah," ujar Lanjar kepada Bisnis, Selasa (8/9/2020).