Bisnis.com, JAKARTA - Harga tembaga diyakini berpotensi menembus level US$7.000 per ton dalam beberapa perdagangan ke depan seiring dengan banyak katalis positif yang tersedia di pasar untuk mendorong harga ke level yang lebih tinggi.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan bahwa harga tembaga untuk menembus ke atas US$7.000 per ton, level tertinggi sejak 2017, pada tahun ini bukan sebuah probabilitas lagi, tetapi hanya menunggu waktu saja.
“Tembaga mungkin bisa ke US$7.500 dalam jangka menengah, bahkan bisa menguji US$8.000 per ton pada akhir tahun ini atau awal 2021,” ujar Wahyu saat dihubungi Bisnis, Selasa (1/9/2020).
Dia menjelaskan bahwa pergerakan harga tembaga masih didukung baik teknikal maupun fundamental.
Secara fundamental, terdapat tiga alasan utama yang akan menjadi pondasi harga bergerak lebih tinggi, yaitu proyeksi inflasi AS yang akan mendukung harga-harga komoditas, pelemahan dolar AS, dan pola bullish emas dan perak yang juga akan mempengaruhi harga logam lainnya.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (31/8/2020) harga tembaga di bursa London parkir di level US$6.667 per ton, naik 0,69 persen. Level itu merupakan level tertinggi tembaga sejak 2018.
Baca Juga
Sementara itu, harga tembaga di bursa Comex pada perdagangan Selasa (1/9/2020) hingga pukul 14.47 WIB berada di level US$308,15 per pon, naik 0,65 persen. Level itu juga merupakan yang tertinggi sejak dua tahun lalu.
Sepanjang tahun berjalan 2020, harga tembaga di bursa London telah berhasil menguat sebesar 7,99 persen. Padahal, pada medio Maret 2020 harga sempat anjlok hingga menyentuh level US$4.371 per ton.
Di sisi pihak, VP Commodity Research Motilal Oswal Financial Services Limited Navneet Damani mengatakan bahwa harga tembaga yang kerap dijadikan patokan pertumbuhan ekonomi telah menguat lebih didukung fundamental pasokan dibanding permintaan.
Pasalnya, ekonomi masih dibayangi perlambatan yang cukup parah jika kasus pandemi Covid-19 tidak kunjung usai dan belum ditemukan vaksin yang cukup ampuh melawan virus mematikan itu.
Harga lebih didukung oleh kekhawatiran pasar terhadap pengetatan pasokan akibat produsen utama Amerika Selatan dihadapi banyaknya pekerja yang terinfeksi virus dan pemogokan kerja.
Sebagian besar tambang tembaga di Chili, produsen terbesar di dunia, terpaksa dihentikan kembali untuk membatasi penyebaran Covid-19. Sementara itu, sebagian tambang lainnya memangkas produksi tembaga seiring dengan keterbatasan tenaga kerja.
Dengan demikian, angka pasokan pun diyakini lebih rendah daripada bulan-bulan sebelumnya. Estimasi Bloomberg, produksi Chili pada tahun ini hanya akan mencapai 200.000 ton, turun sekitar 1 persen dari produksi global tahunan. Mengutip riset perusahaan keuangan asal AS, Jefferies, persediaan tembaga global berpotensi turun hingga 30 persen sejak Maret.