Bisnis.com, JAKARTA — Porsi penjatahan untuk investor ritel yang lebih besar dalam penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) secara elektronik dapat menjadi pedang bermata dua di industri pasar modal.
Di satu sisi, penjatahan saham e-IPO bakal lebih adil dan partisipasi publik kian besar. Hal ini sejalan dengan semangat meningkatkan literasi keuangan di Indonesia.
Di sisi lain, kemampuan dan minat investor ritel dalam menyerap saham e-IPO bakal menjadi tantangan bagi para penjamin emisi efek atau underwriter pada masa bookbuilding.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada berpendapat penjatahan dalam proses IPO lebih baik diserahkan kepada mekanisme pasar. Pasalnya, apabila penjatahan untuk investor ritel diberikan porsi maka bakal terjadi kendala ketika investor ritel yang masuk ternyata tak mencapai batas aturan.
“Underwriter tentunya akan kesulitan, misalnya dalam proyek IPO tertentu mendapat minat yang banyak dari institusi tapi tidak bisa diproses karena harus mengutamakan ritel. Sementara ritel tidak tertarik,” jelas Reza kepada Bisnis, Senin (3/8/2020).
Menurut Reza, transparansi di pasar perdana tetap dapat dijaga tanpa perlu memberikan batasan untuk penjatahan terpusat. Misalnya dengan meminta pelaporan kepada perusahaan efek mengenai rincian proses penawaran dan roadshow yang dilakukan dalam mencari investor.
Baca Juga
Adapun, upaya regulator untuk meningkatkan porsi investor ritel dalam proses IPO dinilai Reza telah sesuai dengan upaya meningkatkan literasi keuangan. Apalagi, dari hari-ke-hari jumlah investor di pasar modal terus meningkat.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor di pasar modal terus meningkat. Per 31 Juli 2020, terdapat 3,02 single investor identification (SID) atau naik 21,77 persen dari tahun lalu yang sebanyak 2,48 juta SID.
Senada, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai porsi penjatahan terpusat dalam aturan e-IPO akan menjadi tantangan tersendiri bagi para underwriter. Kemungkinan pun terbuka lebar ketika saham yang ditawarkan tidak terserap jika lebih mengandalkan investor ritel.
“Akan tetapi, ini layak dicoba dan di sini peran underwriter juga akan diuji,” kata Budi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan ruang yang lebih besar kepada investor ritel untuk berpartisipasi dalam penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) secara elektronik.
Hal itu diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 15/SEOJK.4/2020 tentang Penyediaan Dana Pesanan, Verifikasi Ketersediaan Dana, Alokasi Efek untuk Penjatahan Terpusat, dan Penyelesaian Pemesanan Efek dalam Penawaran Umum Efek Bersifat EKuitas Berupa Saham Secara Elektronik.
Dalam SE yang ditandatangai oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen pada 27 Juli 2020 tersebut, otoritas membagi golongan IPO menjadi empat golongan berdasarkan nilai emisi.
Porsi penjatahan terpusat atau yang biasanya diperuntukkan kepada investor ritel ditentukan berbeda-beda sesuai dengan golongan IPO tadi. Semakin kecil nilai penawaran umum, semakin besar penjatahan untuk investor ritel dan sebaliknya.