Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APEI Minta Relaksasi Waktu Implementasi e-IPO

Investor ritel dinilai belum mampu menyerap secara maksimal saham yang dilepas oleh calon emiten dalam proses IPO.
Pengunjung melihat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (3/8/2020). Pada penutupan perdagangan awal pekan, IHSG ditutup melemah 2,78 persen atau 143,4 poin ke level 5.006,22. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengunjung melihat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (3/8/2020). Pada penutupan perdagangan awal pekan, IHSG ditutup melemah 2,78 persen atau 143,4 poin ke level 5.006,22. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia memperkirakan daya serap investor ritel dalam penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) secara elektronik belum cukup kuat untuk dapat memenuhi aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal tahun depan.

Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto mengatakan pihaknya bakal meminta relaksasi dari otoritas terkait dengan waktu implementasi e-IPO pada Januari 2021 mengingat kondisi pasar yang belum kondusif.

“Mungkin yang bisa kita lakukan adalah meminta relaksasi sambil menunggu market lebih baik. Kan sekarang peraturan sudah keluar dan berlaku mulai Januari 2021. Sementara seperti itu dulu,” kata Ocky kepada Bisnis, Senin (3/8/2020).

Adapun, OJK merilis Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 15/SEOJK.4/2020 tentang Penyediaan Dana Pesanan, Verifikasi Ketersediaan Dana, Alokasi Efek untuk Penjatahan Terpusat, dan Penyelesaian Pemesanan Efek dalam Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham Secara Elektronik.

Dalam SE yang ditandatangani oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen pada 27 Juli 2020 tersebut, otoritas membagi golongan IPO secara elektronik (e-IPO) menjadi empat golongan berdasarkan nilai emisi.

Porsi penjatahan terpusat atau yang biasanya diperuntukkan kepada investor ritel ditentukan berbeda-beda sesuai dengan golongan IPO tadi. Semakin kecil nilai penawaran umum, semakin besar penjatahan untuk investor ritel dan sebaliknya.

APEI menilai porsi penjatahan terpusat yang ditetapkan otoritas dalam e-IPO akan menyulitkan pekerjaan underwriter khususnya untuk penawaran umum dengan nilai emisi besar.

Saham IPO rentan tak mampu diserap dengan kondisi pasar yang masih tertekan akibat Covid-19. Adapun pandemi masih belum diketahui ujungnya dan perkiraan terburuk dapat berlangsung hingga tahun depan.

Sebelumnya, APEI menyampaikan angka ideal untuk investor ritel pada IPO dengan emisi Rp250 miliar sebesar 2,5 persen—5 persen. Porsi yang ditetapkan OJK sebesar 12,5 persen dianggap terlalu besar.

“Waktu sebelum kita masuk Covid-19 saja [pasar] sudah challenging, tapi tetap kita coba dengan harapan mudah-mudahan market bisa menyerap,” tutur Ocky.

Dirinya mengingatkan, di sisi lain, semangat e-IPO sebenarnya untuk proses penawaran umum yang lebih efisien dan transparan. Selain itu, dengan e-IPO diharapkan terjadi pemerataan dalam penjatahan saham di antara para investor.

Selama ini, investor ritel jarang mendapatkan pembagian secara adil dan beberapa oknum cenderung ingin menguasai saham IPO untuk memanfaatkan momen penguatan harga saat pertama kali diperdagangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper