Bisnis.com, JAKARTA – Meski anggota OPEC+ menurunkan kesepakatan pemangkasan produksi untuk bulan depan, harga minyak diperkirakan masih dapat bergerak positif pada perdagangan pekan depan.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa keputusan pemangkasan produksi minyak dunia sejatinya lebih besar daripada yang disepakati OPEC+ sebesar 9,6 juta barel per hari.
Menurutnya, masih ada tambahan pemangkasan produksi yang dilakukan oleh Amerika Serikat sekitar 1,75 juta barel dan beberapa negara lainnya, sehingga pemangkasan produksi bisa mencapai 13,5 juta barel per hari. Hal ini diperkirakan akan membuat harga minyak kian hangat pada perdagangan esok hari.
“Memang pada Sabtu pagi, harga minyak US$39,55 per barel untuk WTI dan US$42,3 untuk Brent. Tetapi dengan ini, ada kemungkinan besar pada Senin akan kembali ke level US$41 per barel,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (7/6/2020).
Ibrahim menjelaskan pemangkasan produksi akan terjadi di tengah potensi pemulihan permintaan. Dengan adanya pembukaan ekonomi di sejumlah negara, konsumsi minyak diperkirakan akan kembali menguat.
Secara umum, permintaan minyak juga akan meningkat karena iklim negara-negara barat mulai memasuki musim panas. Dengan adanya pelonggaran lockdown di sejumlah negara, faktor musim ini diperkirakan akan cukup efektif mendorong permintaan.
Baca Juga
Meski begitu, dia mengatakan potensi penguatan ini berpotensi digembosi oleh Amerika Serikat. Hal ini akan terjadi apabila negara tersebut bermain curang dan memanfaatkan posisinya sebagai negara non OPEC+ untuk tidak mengurangi produksi.
“Bisa jadi Amerika Serikat tunda keputusan penurunan produksi, karena mereka ini super licik. Mereka tidak masuk dalam perjanjian OPEC+, sehingga menurunkan kuota produksi ini bisa tidak berdampak fundamental,” ujarnya.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 5,72 persen ke posisi US$39,55 per barel di New York Mercantile Exchange (Nymex) pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sementara itu, harga minyak jenis Brent di Bursa ICE juga naik 5,78 persen ke posisi US$42,30 per barel.