Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. siap merelakan potensi pendapatan dari penerbangan haji yang biasanya berkontribusi sekitar 10 persen, bakal raib pada tahun ini.
Sebelumnya, Kementerian Agama telah memutuskan untuk meniadakan ibadah haji pada tahun ini karena pandemi Covid-19 masih belum mereda, termasuk di Arab Saudi.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra menyatakan siap mengikuti arahan dari pemerintah. Pihaknya juga telah mempersiapkan diri untuk merelakan hilangnya potensi pendapatan dari penerbangan haji.
“Penerbangan haji itu berkontribusi sekitar 10 persen terhadap pendapatan Garuda Indonesia di tahun-tahun sebelumnya. Maka, kami akan pendapatan dari tempat lain,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (2/6/2020).
Dia mengatakan bahwa pihaknya akan mengandalkan pendapatan dari segmen penerbangan lainnya untuk menutupi celah dari pendapatan haji yang hilang. Perseroan akan mengandalkan penerbangan kargo dan charter.
Berdasarkan laporan keuangan 2019, pendapatan haji berkontribusi sebesar US$249,9 juta, sementara total pendapatan mencapai US$4,57 miliar. Dengan demikian, kontribusi pendapatan haji pada tahun lalu mencapai sekitar 5,47 persen dari total pendapatan.
Baca Juga
Di sisi lain, penerbangan kargo berkontribusi sebesar US$326,93 juta, atau sekitar 7 persen terhadap pendapatan. Sementara itu, penerbangan charter non-haji berkontribusi hanya US$15,63 juta.
Sebelumnya, Analis Mirae Aset Sekuritas Lee Young Jun berpendapat potensi hilangnya pendapatan Garuda akan semakin menekan kinerja perusahaan tersebut.
Upaya mengandalkan penerbangan kargo dan charter, serta melakukan efisiensi dinilai tak akan cukup untuk mendongkrak kinerja. Hal itu dinilai taka akan cukup menghindarkan Garuda dari pertumbuhan laba negatif pada 2020.
Dalam risetnya, Jun menetapkan rekomendasi jual atau sell untuk saham berkode GIAA tersebut. Adapun, target harga tetap dipertahankan pada level Rp195 per saham.
“Pandangan pesimis kami disebabkan oleh kondisi industri penerbangan yang terdampak langsung Covid-19, perkembangan virus corona yang tak terprediksi, dan risiko solvabilitas,” ujarnya.