Bisnis.com, JAKARTA – PT Pilarmas Investindo Sekuritas memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan kembali mengalami koreksi pada hari ini, melanjutkan tren bearish yang terjadi pada perdagangan kemarin.
Pada penutupan perdagangan Rabu (1/4/2020), IHSG ditutup melemah 72 poin atau 1,6 persen menjadi 4.466. Investor asing membukukan penjualan bersih sebesar 69.7 miliar rupiah.
Sejumlah sektor seperti properti, aneka industri, infrastruktur, perdagangan, keuangan, perkebunan, industri konsumsi, pertambangan, industri dasar bergerak negatif dan menjadi kontributor terbesar pada penurunan IHSG kemarin.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyatakan bahwa berdasarkan analisis teknikanl, IHSG memiliki peluang bergerak melemah ke level 4.325. Adapun area support dan resistance masing-masing adalah 4.290 dan 4.560.
“Berdasarkan analisa teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak melemah dan diperdagangkan pada level 4.290—4.560,” katanya, dikutip dalam riset harian, Kamis (2/4/2020).
Sementara, itu setidaknya terdapat tiga saham yang masuk dalam Stock Watch Pilarmas untuk perdagangan hari ini, yakni WIKA (Rp835), PWON (Rp312), dan BMTR (Rp190).
Baca Juga
Adapun, sejumlah sentimen yang diperkirakan akan memengaruhi laju IHSG pada hari ini adalah keputusan Bank Sentral AS untuk membuka fasilitas repo sementar kepada Bank Sentral Asing untuk mendukung pasar keuangan. Program ini dinilai akan memungkinkan peserta untuk menukar US Treasury dengan dolar AS.
Fasilitas repo ini dimaksudkan untuk membantu mengurangi kebutuhan Bank Sentral untuk menjual US Treasurynya ke dalam pasar yang kurang likuid. Selain itu, fasilitas ini ini akan membantu menstabilkan perdagangan dalam bentuk asset yang paling aman di dunia.
Sejauh ini, lima Bank Sentral Asing telah memiliki jalur swap permanen dengan The Fed dan sembilan Bank Sentral tambahan yang sudah dalam kriteria sangat baik telah mendapatkan program tersebut tapi hanya untuk sementara dari The Fed.
“Fasilitas tersebut juga pastinya akan mendukung pasar dalam negeri dalam bentuk US Dollar sehingga dapat meningkatkan kepercayaan pasar yang lebih luas,” katanya.
Selain itu, sentimen dari luar negeri lainnya adalah keputusan Pemerintah India yang memberikan stimulus sebesar 4.88 triliun Rupee atau US$64,5 miliar dalam kurun waktu 6 bulan. Jumlah ini mencapai 62,5 persen dari anggaran sebelumnya, yakni 7,8 triliun Rupee.
Nico mengatakan bahwa stimulus yang diberikan Pemerintah India tersebut berada jauh di bawah ekspektasi pasar. Menurutnya pelaku pasar dan investor mengharapkan paket stimulus yang lebih besar untuk berbagai sektor, seperti penerbangan dan pariwisata.
“Di tengah tengah situasi dan kondisi lockdown yang mereka lakukan, Pemerintah India masih memberikan stimulus yang jauh dari harapan. Tentu hal ini akan membuat guncangan kepada para masyarakat yang mendapatkan penghasilan secara harian,” jelasnya.
Tak hanya India, pengendalian wabah corona di AS dinilai akan menimbulkan kekhawatiran terhadap pasar keuangan global. Pasalnya, Presiden AS Donald Trump dan Koordinator Gugus Tugasa Deborah Birx mengatakan terdapat potensi warga AS akan terus meninggal setiap harinya hingga pertengahan bulan Juni, dengan total 240.000 kematian.
Hal ini diperkirakan akan berdampak pada pasar tenaga kerja AS, yang berpotensi mengalami menambah pengangguran hingga 15 persen dan membuat PDB turun 34 persen secara year on year (yoy) pada kuartal II/2020.
“Kami melihat tampaknya tidak ada kurva dalam bentuk V, karena situasi dan kondisi yang ada terus memaksa dan mendorong ekonomi ke titik terendahnya. Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, seberapa banyak apapun stimulus yang diberikan, selama wabahnya tidak bisa dikendalikan maka itu semua akan sia sia,” jelasnya.
Dari dalam negeri, pemerintah meyakini defisit anggarap dapat lebih rendah menjadi 4 persen hingga 5 persen. Dengan sejumlah upaya stimulus fiskal yang diberikan, anggaran belanja pemerintah juga berpeluang mengalami penurunan kinerja.
“Kami melihat adanya potensi bagi kinerja perusahaan yang melambat dan daya beli yang meningkat, sehingga hal ini menyebabkan adanya selisih dari pendapatan maupun pengeluaran,” jelasnya.