Bisnis.com, JAKARTA – Saham perbankan memang seringkali menjadi rekomendasi para analis karena dianggap sebagai cerminan ekonomi Tanah Air.
Namun, gejolak pasar akibat dari penyebaran COVID-19 atau virus corona terus menggerus indeks hingga membuat saham perbankan rontok satu persatu. Pertanyaannya, masihkah saham perbankan menjadi primadona pasar modal?
PT Bank Central Asia Tbk. contohnya, dilaporkan terkena auto rejection bawah (ARB) setelah melorot 7 persen atau 1.750 poin ke level Rp23.250 pada awal perdagangan, Kamis (19/3/2020).
Sepanjang tahun berjalan, pergerakan emiten berkode saham BBCA tersebut memang sudah terkoreksi hingga 30,44 persen. Investor asing sendiri tercatat membukukan net sell senilai Rp4,35 triliun untuk periode berjalan 2020.
Direktur PT Anugerah Mega Investama, Hans Kwee mengatakan ancaman kesehatan memang benar-benar membuat pasar takut, hal ini diikuti dengan dampak ekonomi yang diakibatkannya.
Pemberlakukan beberapa kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan bekerjasama dengan Bursa Efek Indonesia mengenai batas bawah auto rejection bawah, trading halt, short selling hingga yang terakhir adalah pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen, dianggap belum bisa meredakan kepanikan pasar.
Baca Juga
“Tentu yang dilakukan otoritas sudah bagus, karena yang kita hadapi keadaan pasar yang di luar kebiasaan karena ada isu kesehatan disana. Stimulus pasar domestik harus ketemu dulu anti virus coronanya baru bisa mengurangi keprihatinan pasar,” ujar Hans Kwee kepada Bisnis.com, Kamis (19/3/2020).
Ia pun tak menutup kemungkinan kalau IHSG akan kembali terkoreksi hingga ke level di bawah 4.000, mengingat masalah penyebaran virus corona ini belum dapat teratasi dengan baik.
Meski begitu, Hans tetap merekomendasikan akumulasi beli saham perbankan dengan skenario pembelian secara bertahap untuk tujuan investasi dalam kurun waktu satu hingga dua tahun mendatang.
“Saya masih rekomendasikan saham perbankan, proyeksi pertumbuhan yang solid, neraca yang solid. Itu tetap menjanjikan, seperti BBCA, BMRI dan BBRI. BBCA sendiri penurunannya selalu lebih sedikit dibandingkan yang lain, dan baru kali ini turun7 persen, kan?” ungkapnya.
Hans mengingatkan meski pertumbuhan Indonesia dipastikan melambat pada kuartal I/2020, dan diproyeksikan akan berlanjut pada kuartal II/2020 jika anti virus corona belum ditemukan, ia tetap menyarankan investor untuk tidak panik dan mencermati saham yang memang memiliki fundamental baik.
Berbeda dengan Hans, Analis Panin Sekuritas William Hartanto malah tidak merekomendasikan saham perbankan. Menurutnya, saham perbankan dihindari karena net sell asingnya diyakini belum selesai.
“Kalau perbankan justru saya akan hindari karena net sell asingnya belum selesai. Saya kira saat ini lebih baik wait and see,” tutur William.
Menurutnya, stimulus yang diberikan otoritas sejatinya sudah baik diberlakukan, tetapi kepanikan pasar domestik sangat parah ditambah dengan aksi jual asing yang semakin memperburuk keadaan.
Hal ini kemungkinan besar membuat indeks semakin tergerus ke level 4.000, tercermin dari bursa global juga terkoreksi dalam.
“Nggak ada stimulus yang bisa menolong, kepanikan pasar harus berakhir dengan sendirinya,” imbuh William.
Karenanya, William menganjurkan investor trading untuk mengerem transaksi. Dan jika dimungkinkan, bagi investor yang memiliki visi jangka panjang disarankan untuk membuat keputusan setelah laporan keuangan kuartal I/2020 dirilis.
Selain BBCA, 'Top Three' bank pelat merah yaitu PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga ikut tergerus masing-masing yakni 6,99 persen, 6,90 persen dan 6,69 persen pada penutupan pasar, Kamis (19/3/2020).