Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja bisnis keuangan dan kontribusi dari tambang emas yang baru diakuisisi menjadi salah satu pendorong utama PT Astra International Tbk. (ASII) dalam mencetak laba bersih Rp21,7 triliun pada tahun lalu.
Laba bersih yang dicetak perseroan pada tahun lalu tumbuh tipis 0,16 persen dari torehan laba pada tahun sebelumnya. Adapun, pada 2018 laba yang berhasil dicetak oleh Astra International mencapai Rp21,67 triliun.
Presiden Direktur Astra International Prijono Sugiarto mengatakan laba bersih perseroan masih cukup stabil pada tahun lalu, meskipun kinerja terdampak sejumlah hal. Salah satunya, pelemahan konsumsi domestik dan rendahnya harga komoditas memberi dampak terhadap kinerja pada 2019.
Kendati demikian, perseroan masih diuntungkan oleh kinerja bisnis jasa keuangan yang mengalami peningkatan pada tahun lalu. Di sisi lain, perseroan juga mendapatkan kontribusi positif dari tambang emas yang baru diakuisisi.
Menurutnya, kondisi menantang masih akan terjadi pada tahun ini. Pasalnya, dia menilai ketidakpastian kondisi makro eksternal masih akan menjadi tantangan utama. Di sisi lain, kompetisi di bisnis otomotif roda empat juga akan semakin ketat.
“Prospek pada 2020 masih menantang yang disebabkan ketidakpastian kondisi makro eksternal, kompetisi di pasar mobil, serta harga-harga komoditas yang lemah. Meskipun demikian, kami yakin bahwa Grup berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan momentum dari setiap perbaikan kondisi ekonomi,” jelasnya melalui keterangan resmi, Kamis (27/2/2020).
Dia menjelaskan pendapatan bersih Grup Astra pada 2019 mengalami penurunan sekitar 1 persen menjadi Rp237,17 triliun. Penurunan pendapatan utamanya disebabkan oleh penurunan pendapatan lini bisnis otomotif dan agribisnis. Kedua lini bisnis ini mengalami penurunan yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan pendapatan bisnis jasa keuangan, infrastruktur, dan logistik.
Lini bisnis otomotif menghasilkan kontribusi laba sebesar Rp8,39 triliun, turun 1,43 persen secara tahunan. Sementara itu, kontribusi laba dari lini bisnis agribisnis turun 85,34 persen, menjadi Rp 168 miliar.
Lini bisnis teknologi informasi dan properti juga mengalami penurunan pada 2019. Masing-masing lini itu mengalami penurunan 7,21 persen dan 48,13 persen secara tahunan, menjadi Rp 193 miliar dan Rp 48 miliar.
Adapun, lini bisnis yang mengalami persentase pertumbuhan paling tinggi adalah infrastruktur dan logistik. Lini bisnis ini naik 48,98 persen menjadi Rp 292 miliar. Bisnis jasa keuangan juga mengalami kenaikan cukup tinggi, tepatnya 21,79 persen menjadi Rp5,86 triliun.
Sementara itu, nilai aset bersih mengalami peningkatan sekitar 7,95 persen menjadi Rp3,65 triliun. adapun pada tahun sebelumnya, perseroan memiliki total aset bersih senilai Rp3,38 triliun. Artinya, terjadi peningkatan sekitar Rp 269 miliar terhadap aset.
Utang bersih, di luar Grup anak perusahaan jasa keuangan, mencapai Rp22,2 triliun per 31 Desember 2019. Dibandingkan dengan utang bersih pada akhir tahun lalu senilai Rp13 triliun, utang bersih meningkat 70,77 persen.
Kenaikan utang bersih ini disebabkan oleh tambahan investasi Grup pada jalan tol dan Gojek, serta belanja modal pada bisnis kontraktor penambangan. Sementara itu, anak perusahaan Grup segmen jasa keuangan mencatat utang bersih sebesar Rp 45,8 triliun.
Berdasarkan kinerja tersebut, manajemen akan mengusulkan dividen final sebesar Rp 157 per saham dalam Rapat Umum Pemegang saham Tahunan pada April 2020. Usulan dividen final ini, ditambah dividen interim Rp 57 per saham yang telah dibagikan pada Oktober 2019, akan menjadi dividen total 2019 menjadi Rp214 per saham. Dividen total ini sama dengan dividen pada 2018.