Bisnis.com, JAKARTA - Industri perdagangan berjangka komoditi masih menanti kepastian penentuan pengenaan pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi derivatif yang telah berjalan di tempat selama 5 tahun.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tjahja Widayanti mengatakan bahwa pihaknya terus mengawal perkembangan pembahasan PPh final transaksi derivatif dengan Kementerian Keuangan.
“Kami sudah sering membahasnya untuk segera dikeluarkan kepastiannya. Kami mendengar kabar sudah sampai meja menteri keuangan. Kami tinggal menunggu gongnya saja,” ujar Tjahya saat bincang-bincang dengan media di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Sebagai catatan, saat ini pajak penghasilan atas transaksi derivatif ada di ranah masing-masing investor sesuai dengan ketentuan tarif pajak umum PPh pasal 17 dan ditambah tarif pajak badan berlaku umum sebesar 25 persen jika terdapat profit.
Hal tersebut merupakan konsekuensi atas diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 31 tahun 2011 yang mencabut PP No. 17 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Adapun, sebelumnya pada PP No. 17 tahun 2009 disebutkan pengenaan PPh final terhadap transaksi derivatif sebesar 2,5 persen terhadap initial margin. Angka ini lebih besar dari tarif pemungutan PPh final di Bursa Efek Indonesia (BEI) senilai 0,1 persen.
Baca Juga
Penerapan pajak saat ini pun dinilai memberatkan pelaku usaha dengan mengurangi minat investor baru untuk masuk ke dalam perdagangan berjangka komoditi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan mengajukan usulan kepada pemerintah terkait PPh.
Pada 2 Desember 2014, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan juga telah melakukan pembahasan terkait ketentuan PPh final atas transaksi derivatif ini.
Namun, hingga saat ini belum terdapat kepastian penerapan PPh final maupun penurunan besaran PPh final atas transaksi derivatif perdagangan berjangka komoditi.
Direktur Bursa Berjangka Jakarta Stephanus Paulus Lumintang mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan adanya penerapan PPh final dengan tarif sebesar 0,1 persen sama seperti yang diterapkan untuk bursa saham.
Selain besaran nilai pajak, perbedaan antara regulasi PPh final baru yang diajukan adalah mengenai kondisi pengenaan. Jika sebelumnya pengenaan PPh terhadap initial margin, sehingga investor akan tetap dikenakan pajak meskipun berada dalam posisi terbuka dan belum mengetahui potensi untung atau rugi.
Dalam usulan terbaru, dasar pengenaan pajak adalah 1 persen dari nilai transaksi atau national value yaitu 0,5 persen untuk posisi beli dan 0,5 persen untuk posisi jual, dan jika melakukan likuidasi keuntungan baru akan dikenakan tarif PPh 0,1 persen.
“Pengenaan PPh final sangat dibutuhkan untuk pengembangan transaksi perdagangan berjangka komoditi di Indonesia, karena memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha,” ujar Paulus.