Bisnis.com, JAKARTA – Tahun 2019 rupanya membawa peruntungan bagi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mendinginnya tensi geopolitik disertai amunisi kebijakan moneter yang akomodatif mampu mengangkat apresiasi rupiah sepanjang tahun.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (27/12/2018), nilai tukar rupiah menambah penguatannya sebesar 6 poin atau 0,04 persen dan ditutup di level Rp13.952 per dolar AS di pasar spot.
Rupiah melanjutkan apresiasinya terhadap dolar AS untuk hari perdagangan kedua berturut-turut, setelah ditutup menguat 21 poin atau 0,15 persen di posisi 13.958 pada Kamis (26/12/2019) pascalibur Natal.
Dengan demikian, nilai tukar rupiah telah menguat sekitar 3 persen sepanjang tahun ini (year-to-date) terhadap dolar AS hingga akhir perdagangan 27 Desember.
Penguatan yang dibukukan tahun ini jauh berbanding terbalik dengan raihan pada periode yang sama tahun lalu, ketika nilai tukar rupiah tercatat melemah sekitar 8 persen terhadap dolar AS.
Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, penguatan nilai tukar rupiah didukung oleh pasokan valas dari para eksportir dan aliran masuk modal asing yang tetap berlanjut sejalan prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga.
“[Faktor lainnya] adalah daya tarik pasar keuangan domestik yang tetap besar serta ketidakpastian pasar keuangan global yang mereda,” ungkap Perry dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Kamis (19/12/2019).
Menengok perjalanannya sepanjang tahun ini, Bisnis memantau rupiah mengawali tahun 2019 dengan tidak mudah. Pada perdagangan 2 Januari, nilai tukar rupiah melemah 68 poin atau 0,47 persen dan berakhir di level Rp14.458 per dolar AS.
Tak hanya rupiah, mata uang emerging market lain di Asia juga melemah setelah rilis data manufaktur yang mengecewakan dari China dan beberapa negara lainnya di kawasan ini memperkuat kekhawatiran mengenai pertumbuhan global.
Tapi itu belum seberapa. Pada pekan ketiga bulan Mei 2019, rupiah terdepresiasi selama 3 hari berturut-turut di kala kondisi politik dalam negeri cenderung kurang kondusif.
Penolakan hasil rekapitulasi pemilihan presiden (pilpres) 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin atas pasangan Prabowo-Sandi menambah pelemahan rupiah yang telah terbebani perang dagang Amerika Serikat-China.
Puncaknya, pada perdagangan 22 Mei, rupiah ditutup melemah 45 poin atau 0,31 persen di level Rp14.525 per dolar AS, level penutupan terlemahnya sepanjang tahun ini.
Analis PT Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan mengatakan bahwa kondisi politik dalam negeri yang kurang kondusif semakin membuat rupiah melemah di tengah tertekannya pasar mata uang emerging market akibat eskalasi perang dagang AS dan China.
"Jadi rupiah mengalami tekanan baik dari eksternal maupun internalnya sehingga ditutup melemah kembali," ujar Yudi pada 22 Mei 2019.
Tak melulu melemah, rupiah juga tercatat beberapa kali menyentuh level terkuatnya tahun ini. Pada perdagangan 6 Februari, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 42 poin atau 0,3 persen di level Rp13.920 per dolar AS pascarilis data pertumbuhan ekonomi 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) selama 2018 mencapai 5,17 persen atau meningkat dibandingkan dengan 5,07 persen pada tahun sebelumnya.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, raihan tersebut menunjukkan tren yang sangat bagus dan terbaik sejak 2014. Selain itu, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,18 persen pada kuartal IV/2018, lebih tinggi dibandingkan kuartal III/2018 yang sebesar 5,17 persen.
Kemudian pada perdagangan 15 Juli, rupiah kembali ditutup di level Rp13.920 per dolar AS, level penutupan terkuatnya sepanjang tahun 2019.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa penguatan rupiah yang cukup signifikan kali ini didukung oleh surplusnya neraca perdagangan dalam negeri.
BPS mencatat nilai ekspor Juni 2019 mencapai US$11,78 miliar, turun 8,98 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kendati demikian, nilai impor Juni 2019 mencapai US$11,58 miliar sehingga neraca perdagangan Juni 2019 berhasil surplus sebesar US$200 juta.
"Meski surplus tidak sesuai dengan ekspektasi para analis yaitu sebesar US$516 juta, tetapi data tersebut masih cukup baik, ini akan menjadi sinyal positif bagi pencapaian PDB Indonesia untuk kuartal kedua tahun ini, juga membantu rupiah memiliki proyeksi yang lebih baik," papar Ibrahim pada 15 Juli.
Pencapaian neraca perdagangan tersebut juga dapat mendorong ekspektasi pasar bahwa Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
Seperti yang diantisipasi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18 Juli memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 25 basis poin menjadi 5,75 persen di tengah tekanan perang dagang terhadap perdagangan dunia dan ekonomi global.
Menyusul rilis putusan BI, pada penutupan perdagangan 18 Juli, rupiah menguat 23 poin atau 0,16 persen dan ditutup di level Rp13.960 per dolar AS.
Sejumlah bank sentral di negara maju dan berkembang, termasuk bank sentral Federal Reserve AS, pun melancarkan kebijakan yang lebih dovish guna mengurangi ketegangan global.
Pada 31 Juli 2019, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, The Fed akhirnya memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 2 persen-2,25 persen.
Sementara itu, langkah pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh BI dilanjutkan selama tiga bulan berturut-turut selanjutnya hingga Oktober. Pada Rapat Dewan Gubernur yang berakhir 24 Oktober, BI menurunkan suku bunga acuan menjadi 5 persen.
Ini merupakan penurunan suku bunga yang keempat kalinya oleh BI. Dengan demikian, sejak Juli 2019, suku bunga BI telah dipangkas sebesar 100 basis poin atau 1 persen.
Setelah empat bulan berturut-turut memangkas suku bunga acuannya, RDG BI pada 20-21 November 2019 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level 5 Persen.
Langkah ini diambil setelah bank sentral AS Federal Reserve memberi sinyal untuk mengambil jeda siklus pelonggaran kebijakan moneter usai melakukan pemangkasan lanjutan pada September dan Oktober 2019.
Dalam konferensi pers usai RDG 20-21 November, Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui pelonggaran kebijakan moneter di berbagai negara belum mampu mencegah perlambatan ekonomi dunia.
Namun demikian, ke depannya, prospek pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan membaik. Di dalam negeri, perekonomian Indonesia sendiri tetap berdaya tahan meskipun sedikit melambat seiring perlambatan ekonomi global.
Sementara itu, nilai tukar rupiah menguat sejalan dengan kinerja neraca pembayaran yang membaik. BI memandang nilai tukar rupiah akan tetap stabil sesuai dengan nilai fundamentalnya dan prospek pasar keuangan.
Keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan pun diteruskan dalam pertemuan kebijakan terakhir tahun ini. Pada 19 Desember, BI kembali mempertahankan suku bunga acuan pada level 5 persen.
Menurut Perry, kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan perkiraan inflasi yang terjaga dan stabilitas yang terjaga serta upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat.
Hasil asesmen ekonomi global menunjukkan perlambatan ekonomi global masih berlangsung. Akan tetapi, terdapat sejumlah perkembangan positif yakni progres negosiasi perang dagang dan proses Brexit.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri pada umumnya tetap terjaga ditopang oleh konsumsi rumah tangga, ekspansi fiskal, dan perbaikan ekspor.
Secara keseluruhan, BI optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dapat mencapai sekitar 5,1 persen dan meningkat dalam kisaran 5,1 persen-5,5 persen pada 2020.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menjelaskan, langkah Bank Indonesia menahan suku bunga acuan 5,0 persen sudah sesuai dengan ekspektasi dalam konsesus pasar.
BI dinilai peka dengan mempertimbangkan faktor eksternal yakni global atau regional, dan internal atau domestik serta kebutuhan untuk mengakomodasi momentum pertumbuhan ekonomi.
"Keputusan RDG BI tepat dari sisi momentum untuk memberikan signal positif ke perbankan, sektor riil dan pasar uang," terangnya kepada Bisnis pada 19 Desember.
Menurut Ryan, ke depannya, Bank Indonesia masih akan terus menelurkan kebijakan moneter dan makroprudensial. Selain itu juga diperkuat dengan bauran kebijakan dari keduanya untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.
Langkah BI untuk menahan suku bunga terbukti direspons positif oleh rupiah. Nilai tukar rupiah terpantau mencatat enam kali apresiasi dalam tujuh hari perdagangan berturut-turut hingga 27 Desember meskipun besar penguatan dibatasi oleh perdagangan musim libur Natal dan Tahun Baru.
Penguatan rupiah turut ditopang oleh tercapainya kesepakatan dagang fase satu antara pemerintah AS dan China yang dikabarkan akan ditandatangani pada Januari 2020.
Bank Indonesia memastikan kondisi nilai tukar rupiah akan tetap kuat sampai tahun depan sebagai kelanjutan dari menguatnya rupiah pada tahun ini.
“Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar rupiah tetap stabil sesuai dengan fundamentalnya dan mekanisme pasar yang terjaga,” lanjut Perry pada 19 Desember.
Prakiraan ini, tambahnya, didukung prospek Neraca Pembayaran Indonesia yang tetap baik akibat berlanjutnya aliran masuk modal asing seiring dengan prospek ekonomi domestik yang membaik dan imbal hasil yang menarik.
Selain itu juga didukung dampak positif kebijakan moneter longgar di negara maju.
"Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar valas," pungkasnya.