Bisnis.com, JAKARTA – Peningkatan volume ekspor secara kumulatif Januari 2019 sampai November 2019 sebesar 599,7 juta ton dibandingkan dengan Januari-November 2018 sebesar 556,10 juta ton tidak cukup membantu kinerja neraca dagang menjadi surplus karena penurunan harga sejumlah komoditas yang mengalami penurunan.
Menurut ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana, secara umum ekspor mengalami kontraksi -5,7% (yoy) di tengah perbaikan harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Adapun penurunan nilai ekspor November yang tercatat hanya US$14,01 miliar disebabkan oleh anjloknyan harga komoditas ekspor andalan Indonesia, salah satunya adalah batu bara.
“Jadi sebenarnya secara kumulatif, harga itu bukan hanya CPO dan keseluruhan harga cenderung turun, tetapi volume ekspor meningkat tahun ini,” ujar Wisnu melalui pesan singkat, Senin (16/12/2019).
Hal ini diperkuat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume yang meningkat pada ekspor November 2019 sebesar 56,10 juta ton dibandingkan dengan November 2018 sebesar 51,14 juta ton berbeda dengan pencatatan nilai keseluruhan.
BPS menyebut, nilai ekspor Indonesia pada November 2019 hanya US$14,01 miliar lebih kecil dibandingkan dengan November 2018 sebesar US$14,85 miliar. Adapun rata-rata harga agregat barang ekspor Indonesia November 2019 sebesar US$249,7 per ton, lebih kecil dibandingkan dengan November 2018 sebesar US$290,4 per ton.
Dia menjelaskan, secara kumulatif, pencatatan neraca dagang November dengan defisit US$1,33 miliar menunjukkan sektor otomotif, besi, dan baja, perhiasan, dan pertanian masih mencatatkan sedikit kenaikan kinerja ekspor sepanjang tahun ini.
Di lain pihak, impor juga mengalami penurunan cukup dalam seperti bulan-bulan sebelumnya. Impor terkontraksi -9,2% (yoy). Adapun impor barang konsumsi tumbuh positif secara bulanan yakni 16,13% (mtm), dan 16,28% (yoy). Kenaikan ini, menurut Wisnu, tak lepas dari mulai naiknya permintaan barang konsumsi jelang liburan akhir tahun dan perayaan Natal serta Tahun Baru.
“Meski demikian, pencatatan surplus pada Oktober 2019 berkat kenaikan barang modal pada bulan ini juga mulai mencatatkan penurunan,” ujar Wisnu mewanti-wanti atas dampaknya terhadap kinerja manufaktur Indonesia.
Oleh sebab itu, Wisnu memproyeksikan pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 18 Desember 2019 sampai 19 Desember 2019 untuk tetap menahan suku bunga acuan pada level 5,00%. Tujuannya untuk memberi ruang pada hasil relaksasi sebelumnya, serta menunggu gerak lanjutan kebijakan moneter The Fed.
Sementara itu, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto juga membenarkan sepanjang November 2019 ada sejumlah komoditas ekspor yang harganya turun cukup drastis. Dia menyebut beberapa komoditas yang turun adalah batu bara sebesar 2,8% (mtm). Dia menyebut, harga ini berpengaruh pada total nilai ekspor-impor karena kontribus juga dari bahan bakar mineral. Beberapa komoditas lain yang turun adalah; nikel, emas, perak, timah, dan seng.
Beberapa komoditas yang naik harganya antara lain minyak mentah Indonesia (ICP) di dunia pada Oktober 2019 sebesar US$59,82 per barel menjadi US$63,26 per barel. Komoditas nonmigas lain yang mengalami kenaikan adalah minyak kernel, minyak sawit, karet, coklat, dan tembaga. Minyak sawit atau CPO tercatat naik 15,6%, dan karet naik 7,6%.