Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah atas dolar AS berpotensi untuk terkoreksi pada pekan kedua November (11—15 November 2019) seiring dengan ketidakpastian perdagangan AS-China dan kokohnya dolar AS di zona hijau.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa rupiah berpotensi tekoreksi seiring dengan imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahin AS bergerak lebih tinggi sehingga menguatkan dolar AS.
Adapun, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS khususnya tenor 10 tahun, naik ke level tertinggi sejak 1 Agustus 2019, ke level 1,972%.
“Naiknya imbal hasil obligasi AS akan berimbas pada penguatan dolar AS dan berujung melemahkan rupiah,” ujar Ariston kepada Bisnis, Minggu (10/11/2019).
Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak menguat 0,26% menjadi 98,4, menjadi level tertingginya dalam tiga pekan terakhir.
Sementara itu, dari dalam negeri pasar akan menantikan data neraca perdagangan Indonesia periode Oktober.
Baca Juga
Dia mengatakan bahwa defisit dan perlambatan ekspor impor dapat menekan rupiah.
Sebagai informasi, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal III/2019 yang berhasil dirilis cukup baik belum mampu mendorong rupiah untuk parkir di zona hijau pada perdagangan Jumat (8/11/2019).
Berdasarkan data Bank Indonesia, NPI pada kuartal III/2019 nenunjukkan peningkatan dengan mencatat defisit hanya sebesar US$46 juta, jauh lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya sebesar US$2,0 miliar.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah di pasar spot menutup akhir pekan lalu di level Rp14.014 per dolar AS, melemah 0,12% atau 16 poin.
Ariston memproyeksi pada perdagangan pekan ini rupiah bergerak di kisaran Rp13.900 per dolar AS hingga Rp14.100 per dolar AS.
Selain itu, kelanjutan negosiasi perjanjian dagang fase pertama oleh AS dan China akan menjadi perhatian lainnya bagi pelaku pasar.
AS dan China masih berkomitmen untuk menandatangani perjanjian tersebut pada November atau awal Desember, tetapi poin yang akan menjadi kesepakatan masih belum jelas sehingga pasar juga tampak ragu.
Ariston mengatakan bahwa pasar tentunya menanti perdamaian dagang dan menyambut gembira bila ada penghapusan tarif dari kedua belah pihak yang akan berimbas pada penguatan rupiah.