Bisnis.com, JAKARTA - Tidak hanya nikel yang berada di bawah bayangan ketatnya stok persediaan di gudang yang dilacak oleh LME, stok seng juga dalam tekanan sehingga mendorong penguatan harga selama empat perdagangan berturut-turut.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga perdagangan Jumat (25/10/2019), persediaan seng di gudang yang terdaftar di LME menurun ke level 58.525 ton, sekaligus menjadi yang terendah sejak Oktober 2007.
Akibatnya, kekhawatiran pasar terkait persediaan yang menipis telah meningkat dan mendukung harga seng bergerak di zona hijau. Pada perdagangan Senin (28/10) hingga pukul13.48 WIB, harga seng di bursa LME menguat 0,33 persen menjadi US$2.522 per ton.
Pada perdagangan pekan lalu, seng sempat menyentuh level tertinggi dalam empat bulan terakhir, yakni ke level US$2.567,35 per ton. Adapun sepanjang tahun berjalan 2019, seng menguat sebesar 1,74 persen.
Kepala Ekonom Komoditas Capital Economics London Caroline Bain mengatakan sentimen menurunnya persediaan logam yang digunakan untuk melapisi baja agar tidak mudah berkarat tersebut di bursa sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Pihaknya percaya persediaan seng di luar bursa masih cukup banyak sehingga tekanan pasokan di bursa saat ini, seharusnya tidak berarti signifikan terhadap harga.
Baca Juga
“Secara fundamental, semua tanda yang diberikan adalah permintaan yang terus melemah. Saya pribadi menilai produksi baja galvanis di China sebagai sentimen yang seharusnya dilihat oleh pasar,” ujar Bain seperti dilansir Reuters, Senin (28/10).
Produksi baja galvanis di China, lanjutnya, sedang berada dalam pertumbuhan yang negatif meskipun produksi baja secara keseluruhan berhasil tumbuh kuat di tengah perang dagang AS-China yang berlarut-larut sejak tahun lalu.