Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah tanda kemajuan dari perundingan dagang antara AS dan China pada akhir pekan menguatkan pasar saham Asia pada Senin (14/10/2019), tetapi beberapa investor tetap resah dengan kerusakan eksisting pada ekonomi global.
Di sisi lain, data dari China menggarisbawahi pelemahan ekspor impor dalam dolar AS yang terus menyusut, lebih dalam dari perkiraan, pada September.
Likuiditas juga berkurang bersamaan dengan hari libur di Jepang dan libur pasar parsial di Amerika Serikat bertepatan dengan Columbus Day.
Dilansir melalui Reuters, indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik, kecuali Jepang, naik 1,1% dalam perdagangan ringan.
Sementara itu Tokyo sedang libur, Nikkei berjangka diperdagangkan pada 22.075 dibandingkan dengan penutupan Jumat (11/10/2019), sebesar 21.798 dalam indeks tunai Nikkei. E-Mini berjangka untuk S&P 500 meningkat 0,2%.
Sentimen telah meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan fase pertama dari kesepakatan parsial untuk mengakhiri perang dagang dengan China dan menangguhkan kenaikan tarif, meskipun para pejabat di kedua belah pihak mengatakan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Kesepakatan yang muncul, mencakup pertanian, mata uang dan beberapa aspek perlindungan kekayaan intelektual, akan mewakili langkah terbesar oleh kedua negara sejak perundingan dagang dimulai pertama kali.
Namun, para analis menyarankan agar tetap berhati-hati.
Tai Hui, kepala strategi pasar untuk Asia di JPMorgan Asset Management mengatakan bahwa pasar sudah beberapa kali menyaksikan gencatan senjata diberlakukan dan dibatalkan.
"Ancaman terhadap pertumbuhan global adalah capex perusahaan yang lemah, dan berpotensi meluas ke sektor konsumen. Para direktur tidak akan memulai kembali investasi hanya karena perjanjian dagang parsial," ujar Hui, dikutip melalui Reuters, Senin (14/10/2019).
Hambatan dari perang perdagangan adalah alasan utama Bank Sentral Singapura melonggarkan kebijakan moneter untuk pertama kalinya dalam 3 tahun karena data menunjukkan ekonomi negara nyaris jatuh ke dalam resesi.
Kemajuan perdagangan masih cukup untuk mendorong obligasi safe-haven dengan imbal hasil obligasi treasuri AS 10-tahun naik 23 basis poin pekan lalu menjadi 1,74%.
Kurva imbal hasil juga naik karena suku bunga jangka pendek tertahan oleh kabar bahwa The Fed akan mulai membeli sekitar US$60 miliar surat utang per bulan untuk memastikan cadangan yang cukup dalam sistem perbankan.
Reli dalam aset berisiko telah membuat yen melemah, dolar AS bertahan di 108,32 JPY pada Senin (14/10/2019), setelah mencapai rekor tertinggi dalam 10 pekan terakhir, sekitar 108,61 pada Jumat (11/10/2019).
Dolar AS bernasib kurang baik di tempat lain, sebagian besar akibat lonjakan sterling, dan terakhir berada pada 98,435 terhadap sekeranjang mata uang lainnya setelah turun 0,5% pekan lalu.
Dolar juga tergelincir terhadap yuan China menjadi 7,0646 CNY per dolar AS.
Adapun, poundsterling diperdagangkan pada US$1,2598 setelah melonjak ke level tertinggi 15-pekan sekitar US$1,2705 pada Jumat (11/10/2019), di tengah optimisme Inggris dapat mencapai kesepakatan tentang Brexit dengan Uni Eropa.
Namun, para pejabat dari Downing Street dan Uni Eropa mengatakan pada akhir pekan, bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan untuk mengamankan kesepakatan tentang kepergian Inggris dari blok tersebut.
Kedua pihak akan mengadakan diskusi lanjutan pada Senin (14/10/2019), menjelang pertemuan tingkat tinggi para pemimpin Uni Eropa di Brussels pada 17 Oktober-18 Oktober 2019.