Bisnis.com, JAKARTA – Tekanan yang dialami harga emas Comex di bursa New York tampak belum akan berujung untuk perdagangan hari ketiga beruntun, di tengah pulihnya optimisme pasar soal hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Berdasarkan data Bloomberg, harga emas Comex kontrak Desember 2019 hanya naik 0,06 persen atau 0,90 poin ke level US$1.489,60 per troy ounce pada perdagangan Senin (14/10/2019) pukul 10.25 WIB dibandingkan dengan level penutupan perdagangan sebelumnya.
Pada perdagangan Jumat (11/10/2019), harga emas Comex kontrak Desember ditutup di posisi 1.488,70 dengan melorot 0,81 persen atau 12,20 poin, pelemahan hari kedua berturut-turut.
Harga emas di pasar spot bahkan sempat mencatat penurunan lebih dari 1 persen dalam perdagangan intraday pada Jumat (11/10) setelah AS dan China dikabarkan akan mencapai kesepakatan parsial mengenai konflik perdagangan mereka.
Dalam pertemuan lanjutan yang berakhir pada Jumat (11/10) waktu Washington, pemerintah AS dan China menyepakati garis-garis besar perjanjian perdagangan parsial antara kedua negara.
Baca Juga
Menurut Presiden AS Donald Trump, ia dan Presiden China Xi Jinping akan menandatangani perjanjian tersebut paling cepat pada November.
Dari kesepakatan tersebut, China akan secara signifikan meningkatkan pembelian komoditas pertanian AS, menyetujui kebijakan kekayaan intelektual dan konsesi terkait jasa keuangan dan mata uang.
Sebagai kompensasinya, AS akan menunda kenaikan tarif yang dijadwalkan berlaku mulai 15 Oktober. Akan tetapi, tarif impor tambahan yang berlaku pada Desember, terhadap impor China senilai US$160 miliar, tidak dibatalkan.
"Penting bagi kedua negara untuk bekerja sama menyelesaikan masalah masing-masing. Saya harap kedua belah pihak akan bertindak dalam prinsip dan arahan yang telah disepakati dan berupaya memajukan hubungan AS-China berdasarkan koordinasi, kerja sama dan stabilitas," terang Trump dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip melalui Bloomberg.
Solusi yang dicapai oleh kedua belah pihak dari negosiasi mereka kontan disambut gembira oleh pasar finansial global. Investor ramai-ramai memburu aset-aset berisiko dan mencampakkan aset safe haven.
Pasar Saham Menguat
Ketiga indeks saham acuan di bursa Wall Street AS sampai naik tajam lebih dari 1 persen menyusul pengumuman tersebut. Dow Jones ditutup menanjak 1,21 persen, S&P 500 menguat 1,09 persen, dan Nasdaq Composite menguat 1,34 persen pada perdagangan Jumat (11/10) atau Sabtu (12/10) pagi WIB.
Penguatan bursa saham AS pada perdagangan Jumat memperpanjang rally-nya dalam beberapa hari terakhir yang didorong optimisme pasar soal perkembangan hubungan antara kedua negara dari perundingan mereka.
"Alasan utama pasar rally dalam beberapa hari terakhir adalah harapan bahwa akan ada kesepakatan, meskipun berupa perjanjian kecil, dan bahwa perang perdagangan ini akan usai di masa mendatang,” ujar Michael O'Rourke, kepala strategi pasar di JonesTrading, Connecticut, dikutip dari Reuters.
Euforia yang dialami bursa Wall Street pun menjalar ke Asia. Indeks MSCI Asia Pacific selain Jepang dilaporkan menguat 0,5 persen berdasarkan data Reuters pada perdagangan pagi ini, Senin (14/10/2019).
Namun, sebagian analis tetap memperingatkan untuk bersikap waspada.
“Kita pernah melihat gencatan senjata terjadi dan kemudian runtuh sebelumnya,” ujar Tai Hui, kepala strategi pasar untuk Asia di JPMorgan Asset Management.
"Ancaman terhadap pertumbuhan global adalah capex perusahaan yang lemah dan berpotensi meluas ke sektor konsumen. CEO tidak akan memulai kembali investasi hanya karena putaran terakhir perjanjian itu antara kedua belah pihak,” lanjutnya.
Hambatan dan ketidakpastian dari perang perdagangan pula yang mendorong Bank Sentral Singapura melonggarkan memutuskan melonggarkan kebijakan moneternya pada Senin (14/10), untuk pertama kali sejak 2016.
Emas Tambah Memble?
Kendati demikian, progres dari AS dan China cukup membawa angin segar pada aset-aset berisiko sekaligus menggerus daya tarik aset-aset safe haven. Nilai tukar mata uang yen Jepang dan obligasi, yang kerap diburu di tengah pergolakan dan ketidakpastian global, terpukul.
Berdasarkan data Reuters, imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun meningkat 23 basis poin pekan lalu menjadi 1,74 persen.
Sementara itu, kurva imbal hasil menjadi lebih curam karena suku bunga jangka pendek tertahan oleh kabar bahwa The Fed akan mulai membeli surat utang senilai sekitar US$60 miliar per bulan untuk memastikan "cadangan yang cukup" dalam sistem perbankan.
Pada saat yang sama, pasar menantikan tanda-tanda bahwa para pembuat kebijakan bank sentral AS tersebut akan kembali memangkas suku bunga acuannya dalam pertemuan kebijakan pada akhir Oktober mendatang.
Tak heran jika progres hubungan dagang AS-China ditambah spekulasi mengenai prospek suku bunga bisa semakin menekan harga emas pada perdagangan Senin (14/10).
“AS dan China tampaknya hampir mencapai, setidaknya, perjanjian parsial tentang perdagangan dan ini mengangkat sentimen investor (untuk aset berisiko). Ini juga negatif untuk aset safe haven termasuk emas,” jelas Jim Wyckoff, analis Kitco Metals.
Ada pula analis yang berpendapat bahwa pamor emas masih terlihat bullish baik secara fundamental dan teknis dalam jangka panjang.
"Saya tidak melihat aksi jual besar-besaran pada emas karena kesepakatan perdagangan, jika ada. Ini sebenarnya akan positif dalam jangka panjang,“ ujar Fawad Razaqzada, analis pasar Forex.com.
"Jika China membuat kesepakatan, permintaan China untuk emas akan meningkat karena merupakan konsumen emas terbesar di dunia,” dalihnya.