Bisnis.com, JAKARTA – Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengalami turbulensi menyusul konflik yang terjadi pada kerja sama manajemen (KSM) antara perseroan dengan PT Sriwijaya Air pada awal September 2019.
Laju pergerakan saham GIAA pada saat konflik tersebut bergulir cenderung tidak stabil bagai pesawat terbang yang mengalami turbulensi di udara. Bloomberg mencatat sepanjang perdagangan pada September 2019, saham bersandi GIAA tersebut ditutup pada zona hijau hanya pada 7 hari perdagangan.
Sementara pada 9 hari perdagangan pada September 2019, saham GIAA terparkir pada zona merah. Selain itu, saham GIAA ditutup stagnan pada 4 hari perdagangan sepanjang September 2019.
Namun, selama periode 1 bulan, saham GIAA masih memberikan return 4,51 persen. GIAA bermanuver di level harga Rp474 hingga Rp550 per saham sepanjang September 2019.
Sementara itu, sepanjang tahun berjalan saham GIAA telah menguat 72,82%.
Adapun, pada perdagangan hari ini, Selasa (1/10/2019), saham GIAA sempat terperosok ke zona merah pada awal perdagangan, tetapi rebound hingga perdagangan pukul 12.00 WIB menuju level Rp515.
Baca Juga
Sekadar informasi, konflik yang terjadi pada kerja sama operasi antara Garuda Indonesia Group dan PT Sriwijaya Air bermula saat tiga direksi Sriwijaya Air didepak dari jabatannya. Ketiga dewan direksi tersebut merupakan orang Garuda Indonesia.
Konflik tersebut berlanjut dengan keputusan Garuda Indonesia Group untuk mencabut logo 'Garuda Indonesia' pada armada Sriwijaya Air menindaklanjuti perkembangan yang terjadi atas dispute kerja sama Manajemen (KSM) Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group.
Selanjutnya, anak usaha GIAA, yakni PT Citilink Indonesia menggugat Sriwijaya Group (Sriwijaya Air dan NAM Air) atas dugaan wanprestasi dalam perjanjian bisnis antara kedua grup maskapai penerbangan ini. Gugatan tersebut merupakan buntut dari sengketa KSM antara grup maskapai pelat merah itu dengan Sriwijaya Air Group.
Prospek GIAA
Dalam risetnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memproyeksikan kinerja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. akan lebih pada semester II/2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dan semester I/2019.
Lee Young Jun, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam risetnya menyebutkan bahwa meskipun tren pada tahun ini jumlah pengangkutan penumpang Garuda Indonesia menurun, namun profitabilitas perseroan diproyeksikan lebih tebal dari segmen penumlang dan kargo.
Memasuki periode semester II/2019, dia menilai akan terjadi permintan jumlah pengakutan yang dapat membuat jumlah penumpang yang diangkut lebih banyak dibandingkan dengan periode sebelumanya. Hal tersebut disebabkan oleh periode musiman untuk penumpangi pesawat terbang.
Selain itu, pada semester II/2019, harga bahan bakan minyak atau avtur yang digunakan oleh maskapai pesawat terbang diprediksi akan lebih stabil dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga dapat membuat profitabilitas perseroan lebih tebal.
“Kami percaya kinerja keuangsn GIAA pada semester II/2019 akan lebih baik dibandingkan dengan semester II/2018 dan semester I/2019,” sebutnya.
Pada Juli 2019, jumlah penumpang dan kargo yang diangkut GIAA turun masing-masing 20,3% dan 23,6% secara year on year. Dia menilai intervensi pemerintah dalam kisruh harga tiket masih memiliki pengaruh yang terbatas untuk perseroan.
Sementara itu, pada Juli 2019, penggunaan bahan bakar GIAA turun 13,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Selain itu, sejak awal Juli 2019, kondisi harga minyak dunia terpantau stabil.
“Dengan demikian, kami sangat yakin bahwa perseroan akan mendapatkan margin yang lebih tebal pada kuartal III/2019,” ungkapnya.
Adapun, Mirae Asset Sekuritas Indknesia mempertahankan rekomendasi beli untuk saham GIAA dengan target harga Rp690 per saham.
Sementara itu, analis Ciptadana Sekuritas Asia Fahressi Fahalmesta mengatakan bahwa pada semester II/2019 ini seharus GIAA telah mampu mendapatkan target pada tahun ini senilai US$70 juta.
Menurutnya, pada periode ini GIAA mendapatkan keuntungan dari pelayanan Haji yang jatuh pada Juli 2019. GIAA diproyeksikan mengantongi US$50 juta dari pelayanan ibadah Haji.
“Sampai Juli 2019 seharusnya GIAA sudah achieved targetnya,” ujarnya.
Selain itu, harga jual tiket penerbangan pada tahun ini yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu dinilai dapat meningkatkan profitabilitas perseroan pada tahun ini.
Isu harga tiket yang tidak lagi terlalu sensitif untuk masyarakat juga menjadi nilai positif untuk kinerja perseroan. Pasalnya, jumlah pengangkutan dapat kembali meningkat dengan meredanya sentimen itu.
“Jadi semester II/2019 ini GIAA bisa lebih baik. Kami memberikan rekomendasi beli untuk GIAA dengan target harga Rp650,” ungkapnya.