Bisnis.com, JAKARTA – Saham emiten perkebunan sawit, PT Astra Agro Lestari Tbk. sedang tertekan. Sepanjang tahun berjalan 2019, saham AALI merosot 10,78 persen. Masih adakah katalis yang mampu mengerek AALI kembali ke zona hijau?
Berdasarkan data Bloomberg, saham AALI ditutup di level harga Rp10.550 pada akhir perdagangan Jumat (27/9/2019).
Sepanjang tahun berjalan 2019, level harga tertinggi AALI berada di Rp14.200 per saham yang tersentuh padda 28 Januari 2019.
Di sisi lain, level harga terendahnya sebesar Rp9750 per saham terbentuk pada akhir perdagangan 6 Agustus 2019. Level harga itu juga merupakan yang terendah dalam 5 tahun terakhir.
Loyonya pergerakan saham AALI tak terlepas dari prospek produksi dan pasar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), serta pergerakan harga komoditas perkebunan itu.
Dalam risetnya, analis PT OCBC Sekuritas Research Inav Haria Chandra berpendapat pasar minyak nabati yang semakin terbuka di China merupaka peluang bagi AALI. Pasalnya, entitas Grup Astra itu berpotensi mendongkrak ekspor CPO ke China.
Baca Juga
“China mengumumkan rencananya untuk menghapus minyak kedelai, rapeseed dan minyak sawit dari manajemen Kuota Tarif Tarif impor (TRQ). Draf terbuka untuk publik, dan keputusan akhir diharapkan akan diumumkan segera,” tulisnya dalam riset yang dikutip Jumat (27/9/2019).
Menurutnya, China merupakan konsumen minyak nabati terbesar di dunia. Dengan terbukanya perdagangan ke China akan menguntungkan minyak kelapa sawit karena memiliki biaya produksi terendah dibandingkan dengan yang minyak lainnya.
Potensi itu bakal mendorong kinerja fundamental perseroan. Pada 2019, pendapatan AALI diproyeksi mencapai Rp17 triliun dan naik 11,65% menjadi Rp18,89 triliun pada 2020.
Sementara itu, laba bersihnya diperkirakan mencapai Rp259 miliar pada 2019 dan naik 476,44% menjadi Rp1,49 triliun pada 2020. Earnings per share 2019 sekitar Rp134 per saham dan naik menjadi Rp776 per saham pada 2020.
OCBC Sekuritas menyematkan rekomendasi beli untuk AALI. Target harga AALI ditetapkan sebesar Rp14.800 per saham. Level harga itu mencerminkan proyeksi harga per nilai buku (price to book value/PBV) 1,45 kali pada 2020.
Kebakaran terjadi tidak jauh dari area perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Selasa (21/2)./Antara-FB Anggoro
Dalam riset terpisah, analis Ciptadana Sekuritas Asia Yasmin Soulisa juga menyoroti faktor ekspor ke China sebagai katalis positif bagi AALI.
Selain itu, harrga CPO diproyeksi naik moderat sekitar 15 persen ke level 2.300 ringgit per ton pada 2020. Proyeksi itu lebih tinggi dari estimasi harga pada 2019 sebesar 2.000 ringgit per ton. Proyeksi itu sejalan dengan asumsi suksesnya implementasi inisiatif B30, produksi CPO yang stabil, dan pasar ekspor yang sehat.
Ciptadana Sekuritas mengerek pandangan mereka terhadap sektor perkebunan dari netral menjadi overweight. Namun, saham AALI direkomendasikan hold dengan target harga Rp10.800 per saham. Harga itu mencerminkan proyeksi price to earnings ratio (PER) 54,1 kali pada 2020.
Berdasarkan konsensus analis Bloomberg, target harga saham AALI dalam 12 bulan ke depan ada di level Rp12.136 per saham. Dari 19 analis yang mencermati saham AALI, sebanyak 13 analis merekomendasikan beli dan 6 analis merekomendasikan hold.
Rekomendasi Analis untuk Saham AALI | ||
---|---|---|
Sekuritas | Rekomendasi | Target Harga (Rp/Saham) |
Ciptadana Sekuritas | hold | 10.800 |
BNI Sekuritas | buy | 14.325 |
UOB Kay Hian | buy | 11.700 |
RHB Research | buy | 13.310 |
DBS Bank | hold | 10.400 |
OCBC Sekuritas | buy | 14.800 |
Deutsche Bank | buy | 15.000 |
Sumber: Bloomberg, per 27 September 2019.