Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah lanjutkan penguatan masih bergerak di bawah level psikologis Rp14.000 per dolar AS di tengah pulihnya sentimen risiko karena AS dan China menunjukkan upaya untuk menyelesaikan sengketa perdagangannya.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (13/9/2019), rupiah menguat 0,193% atau 28 poin menjadi Rp13.967 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan, rupiah berhasil menyentuh level Rp13.930 per dolar AS, terendah sejak Juli 2019.
Adapun, sepanjang pekan rupiah berhasil menguat 0,95% menjadi yang terkuat ketiga di antara mata uang asia lainnya, di bawah won dan dolar Taiwan.
Sementara itu, sepanjang tahun berjalan rupiah berhasil menguat 3,02% sehingga menjadi kinerja mata uang terbaik kedua di antara mata uang asia lainnya, kalah dengan baht yang menguat 6,2%.
Analis PT Monex Investindo Futures Andian mengatakan bahwa penguatan rupiah didukung oleh minat pelaku pasar global yang meningkat terhadap aset-aset berisiko, termasuk rupiah.
Meredanya ketegangan tensi dagang AS dan China membukakan pintu bagi investor untuk kembali mengumpulkan aset investasi berisiko. AS dan China melonggarkan masing-masing kebijakan tarif impornya untuk menjamin terjadinya negosiasi dagang yang akan berlangsung pada awal Oktober.
Baca Juga
Pemerintah AS sepakat untuk menunda pengenaan tarif sebesar 5% pada impor China selama dua minggu, sedangkan China mengizinkan perusahaannya untuk melanjutkan pembelian produk pertanian AS.
Lalu, pada Kamis (12/9), China telah melakukan pembelian kedelai AS untuk pertama kalinya setelah kedua negara tersebut kembali saling perang tarif pada bulan lalu.
Dewan Ekspor Kedelai AS memperkirakan perusahaan asal china setidaknya membeli sekitar 15 kargo dengan total lebih dari 600.000 ton kedelai AS, merupakan pembelian dengan jumlah yang paling signifikan setidaknya sejak Juni 2019.
Berpotensi Sentuh Rp13.500
Harga minyak dunia yang kembali terkoreksi juga menjadi katalis positif bagi rupiah karena lemahnya harga minyak berpotensi untuk membantu neraca perdagangan akibat Indonesia merupakan negara net importir minyak.
“Selain itu, proyeksi surplusnya neraca perdagangan dalam negeri yang akan dirilis pekan depan juga telah membantu rupiah untuk bergerak menguat, mengingat pada bulan lalu Indonesia juga berhasil surplus dan lebih baik dibandingkan AS,” ujar Andian kepada Bisnis, Jumat (11/9/2019).
Kemudian, European Central Bank atau ECB yang menggelontorkan stimulus dan memangkas suku bunga acuannya sebesar 10 basis poin menjadi -0,5% menambahkan kekuatan nilai tukar lain melawan dolar AS.
Andian mengatakan, sesungguhnya pemangkasan suku bunga acuan oleh ECB melemahkan euro dan memberikan kekuatan pada dolar AS, tetapi agenda dibalik pemangkasan tersebut merupakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi zona Eropa sehingga mendorong euro untuk menguat dan melemahkan dolar AS.
Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak melemah 0,28% menjadi 98,034.
Andian memprediksi pada pekan depan rupiah masih akan cenderung menguat di level Rp13.900 per dolar AS hingga Rp14.250 per dolar AS.
Ahli Strategi Valuta ASing Credit Agricole CIB Hongkong David Forrester mengatakan bahwa optimisme perang dagang terus membuat rupiah untuk bergerak menguat.
“Rupiah dapat jatuh ke arah dukungan teknis Rp13.900 per dolar AS dan penembusan level tersebut akan membuka penurunan signifikan pada Rp13.500 per dolar AS meskipun pasar cenderung akan berhati-hati menjelang pertemuan Fed minggu depan,” ujar David seperti dikutip Bloomberg, Jumat (13/9/2019).