Bisnis.com, JAKARTA - Harga bijih besi tampak akan segera move on dari reli kuat yang terjadi pada perdagangan awal tahun ini. Komoditas yang digunakan sebagai bahan pembuat baja tersebut diprediksi mengalami laju penurunan yang berkepanjangan selama 5 tahun mendatang.
Kepala Penelitian Komoditas Global Citigroup Inc. Ed Morse mengatakan bahwa harga bijih besi siap untuk bergerak turun dalam jangka panjang seiring dengan melemahnya permintaan dari China, konsumen terbesar di dunia, meskipun di tengah meningkatnya konsumsi baja yang terlihat di pasar negara berkembang.
“Kombinasi permintaan dari India, Brasil, dan negara pasar berkembang lainnya, tidak peduli seberapa besar, tidak akan bisa menggantikan jumlah permintaan dari China itu sendiri,” ujar Ed Morse seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (12/9/2019).
Hingga saat ini, China masih mendominasi industri baja global, bahkan ketika produksi di India telah berkembang pesat. Pada Juli lalu, pabrik China menghasilkan 85,2 juta ton baja mentah, atau sebanyak 54% dari total dunia.
Sementara itu, India yang berada di urutan kedua menghasilkan 9,2 juta ton naja mentah, atau 5,9% dari total dunia dan Brasil berada di posisi kesembilan dengan menghasilkan 2,4 juta ton baja mentah.
Ketika ekonomi China melambat, Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut cenderung akan menjauhkan negaranya dari beberapa proyek infrastruktur dan industri berat sehingga pertumbuhan akan didorong untuk ditopang melalui sektor konsumsi.
Akibatnya, permintaan baja global diperkirakan bergerak stabil dalam beberapa perdagangan ke depan hingga akhirnya berangsur melambat untuk jangka waktu yang cukup panjang. Kendati demikian, belum ada konsesus pasar yang membahas waktu pergeseran permintaan tersebut.
Selain itu, BHP Group, penambang bijih besi terbesar di dunia, mengatakan pada bulan lalu bahwa produksi baja China telah memasuki fase tanpa kemajuan, dengan siklus kembali ke puncak terjadi paling lambat pada pertengahan dekade berikutnya.
Output Baja China
Senada, dalam proyeksi kuartal terbarunya, Pemerintah Australia juga mengatakan bahwa output baja China diperkirakan akan menurun secara bertahap, dirugikan oleh tingkat permintaan yang hanya tumbuh moderat, pembatasan lingkungan yang lebih ketat, dan pengurangan kapasitas pabrik.
Pemerintah Australia, sebagai negara penghasil bijih besi terbesar tersebut memprediksi, produksi akan berkurang menjadi 926 juta ton pada 2021 dibandingkan dengan sebanyak 940 juta ton pada tahun ini.
Oleh karena itu, Citigroup kini menaruh posisi bearish terhadap harga bijih besi dalam jangka panjang yang dengan latar belakang sentimen harga bahan yang sangat murah dari Australia dan Brazil dan terjadi bersamaan dengan tertekannya permintaan.
Perusahaan keuangan tersebut memprediksi harga patokan akan berakhir tahun ini di pertengahan level US$90an per ton, sebelum jatuh ke US$75 pada akhir 2020. Kemudian, pada lima tahun kemudian, harga diprediksi bergerak di kisaran US$55 per ton, level yang masih jauh di atas biaya produksi saat ini di penambang terbesar.
Pada perdagangan Kamis (12/9/2019) harga bijih besi di bursa DCE berada di level 667,50 yuan per ton, menguat 1,83%. Sementara itu, hingga pukul 15.54 WIB, harga bijih besi berjangka di bursa SGX bergerak menguat tajam 4,27% menjadi US$94,8 per ton.
Adapun, kenaikan terjadi seiring dengan harga baja berjangka yang bergerak naik, ketegangan perdagangan AS dan China mereda, serta pemangkasan produksi pabrik baja China.
Di sisi lain, harga baja Hot-Rolled Coil atau HRC di bursa SHFE berada di level 3.522 yuan per ton, menguat 0,17% dan harga baja rebar di bursa SHFE menguat 0,75% menjadi 3.502 yuan per ton.
Sebagai informasi, pada perdagangan awal tahun ini bijih besi telah mengalami reli kuat dan sempat menyentuh level di atas US$120 per ton.
Kekurangan pasokan dan rekor produksi baja China, yang menjadi penghambat pertumbuhan konsumsi China dan peningkatan stok pelabuhan negara itu, telah memberi jalan bagi laju bijih besi. Sepanjang tahun berjalan 2019, bijih besi telah bergerak menguat 32,79% di bursa SGX dan menguat 54,67% di bursa DCE.