Bisnis.com, JAKARTA - Harga nikel pada pekan ini diproyeksi mengalami koreksi sejalan dengan minimnya katalis positif yang beredar di pasar komoditas global.
Analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan dalam risetnya mengatakan bahwa harga nikel pada pekan ini akan terkoreksi mengingat kurangnya katalis positif yang beredar di pasar.
“Kami memperkirakan persediaan nikel LME akan naik minggu ini, sementara pembicaraan perdagangan AS-China yang tidak menentu akan tetap menjadi risiko penurunan yang dapat menekan permintaan nikel global dalam waktu dekat,” ujar Andy seperti dikutip dari risetnya, Rabu (11/9/2019).
Kendati demikian, berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (11/9/2019) harga nikel berjangka di Bursa SHFE untuk kontrak November 2019 berada di level 143,330 yuan per ton, menguat tipis 0,06%. Sementara itu, harga nikel di bursa London hingga pukul 14.39 WIB, bergerak menguat 0,97% menjadi US$18.130 per ton.
Sepanjang tahun berjalan 2019, harga nikel telah bergerak menguat 68,8% seiring dengan ketatnya pasokan dan meningkatnya permintaan sebagai bahan utama pembuatan baterai mobil listrik.
Pasokan Nikel
Baca Juga
Seementara itu, Credit Suisse Group AG dalam risetnya mengatakan bahwa pasokan nikel global tidak akan dalam tekanan parah karena stok nikel yang ada dan melambatnya permintaan mampu menutup kesenjangan yang diciptakan dari larangan tersebut.
“Kami meragukan reli nikel yang didukung oleh fundamental tersebut dapat bertahan,” tulis Credit Suisse Group dalam risetnya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (9/9/2019).
Credit Sussie memperkirakan pasar nikel akan kehilangan sekitar 240.000 ton nikel akibat larangan ekspor bijih nikel Indonesia tersebut. Namun, kesenjangan tersebut akan diisi oleh 145.000 ton dari stok yang ada baik di pelabuhan maupun pabrik NPI dan pasokan tambahan dari Filipina.
Sementara itu, Bank tersebut memproyeksi terdapat sekitar 95.000 ton nikel dari total permintaan yang lebih rendah karena sektor baja nirkarat China memangkas produksi di tengah ancaman resesi ekonomi global.
Namun, kekurangan dari produksi NPI China akan sepenuhnya digantikan oleh output Indonesia itu sendiri pada 2021. Hal tersebut karena kebijakan larangan eskpor nikel yang dimajukan tersebut untuk memajukan sektor hilir Indonesia, termasuk nikel.
Oleh karena itu, bank tersebut menilai harga nikel global cenderung akan menurun pada 2020 dan 2021.
Selain itu, mengutip riset Wood Mackenzie, larangan ekspor diprediksi akan mengurangi produksi nikel sebesar 16.000 ton pada 2020, sebesar 190.000 ton pada 2021, dan 112.000 ton pada 2022.
Peneliti dan konsultan pertambangan tersebut memprediksi, jika harga nikel tetap berada pada level yang tinggi, maka hal tersebut akan cukup untuk mendukung reaktivasi sekitar 50.000 ton kapasitas blast furnace idle sehingga mengimbangi perkiraan kehilangan produksi yang sederhana pada 2020.
Namun, kehilangan produksi pada 2021 sebesar 190.000 ton dinilai tidak dapat diimbangi dengan peningkatan output di tempat lain.
“Sementara itu, dari 2022 dan seterusnya, pandangan kami adalah bahwa sebagian besar output yang hilang dapat diimbangi dengan peningkatan output di Indonesia dengan asumsi dana dapat diamankan untuk ekspansi yang direncanakan,” tulis Wood Mackenzie dalam risetnya.