Bisnis.com, JAKARTA — Kendati pasar saham Indonesia terkoreksi pada Agustus lalu akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China, Bank Commonwealth masih merekomendasikan reksa dana saham sebagai pilihan investasi utama karena potensi imbal hasilnya yang lebih menarik dibandingkan dengan reksa dana lainnya.
Bank Commonwealth menilai pasar saham Indonesia masih relatif lebih kuat ketimbang pasar saham di Asia. Pada bulan lalu, ekonomi Amerika Serikat tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor, sedangkan ekonomi Eropa, dan China pun tumbuh lebih rendah. Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia disebabkan masih belum adanya kejelasan mengenai meredanya ketegangan terkait perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
Hal tersebut menyebabkan investor lebih memilih untuk berinvestasi di kelas aset yang aman. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2019 tercatat 5,05%, turun dibandingkan dengan kuartal I/2019. Meski demikian, masih tetap terjaga di atas 5% dengan peningkatan pada konsumsi rumah tangga, sedangkan investasi tetap stabil.
Adapun, transaksi berjalan kuartal II/2019 tercatat defisit US$8,4 miliar, dipengaruhi oleh perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak volume perdagangan dunia dan harga komoditas yang turun. Meski demikian, saat isu perang dagang kembali memanas pada Agustus lalu, pasar saham Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan dengan dengan pasar saham Amerika Serikat atau pasar saham Asia pasifik.
IHSG tercatat turun 0,97%, sedangkan pasar saham Amerika Serikat S&P 500 turun 1,81%, dan acuan pasar saham sharia Asia Pasifik, FTSE sharia Asia Pasifik turun 2,11%. Hal ini menunjukkan, bahwa Indonesia relatif kebal terhadap kemelut perang dagang antara Amerika Serikat dan China, karena sebagai negara berkembang, porsi terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi dalam negeri.
Selain itu, ketahanan ekonomi Indonesia juga tetap kuat, dengan dijaganya rasio utang luar negeri terhadap PDB. Melihat hal tersebut, Bank Commonwealth merekomendasikan reksa dana untuk menjadi pilihan pertama untuk investasi khususnya reksa dana saham atau reksa dana pendapatan tetap tergantung dari profil risiko dan jangka waktu investasi.
Baca Juga
“Hingga akhir tahun 2019, kami masih lebih positif di kelas aset saham, dengan pertimbangan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan menjadi salah satu alasan dana asing kembali masuk ke Indonesia, sebagai negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan negara maju,” jelas Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya melalui keterangan resmi, Selasa (10/9).
Menurutnya, reksa dana saham secara historikal masih memberikan imbal hasil yang tertinggi dalam jangka panjang dibandingkan dengan reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap serta reksa dana campuran.
“Oleh karena itu, kami memutuskan memulai kerja sama dalam mendistribusikan reksa dana di bawah kelolaan Sucorinvest Asset Management yaitu Sucorinvest Equity Fund di mana secara kinerja produk ini memberikan imbal hasil sebesar 79,27% dalam 3 tahun terakhir, sementara tolok ukur IHSG memberikan imbal hasil sebesar 26,75% (data per Juni 2019),” jelas Ivan.
Adapun, pada September ini, Ivan menegaskan, investor akan fokus pada dua hal yakni perundingan lanjutan antara Amerika Serikat dan China terkait dengan perang dagang dan pertemuan bank sentral terkait penentuan suku bunga.
Rencananya, The Fed diperkirakan kembali melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga pada bulan ini. Pelonggaran kebijakan moneter ini diharapkan dapat menjadi trigger bagi investor untuk kembali masuk ke investasi. Sementara itu, Bank Indonesia juga dipercaya akan tetap menjaga iklim investasi Indonesia tetap kondusif.