Bisnis.com, JAKARTA — Sektor media masih menjadi sektor yang cukup favorit bagi sejumlah analis, terutama mengingat adanya pemilu serentak yang digelar pada April tahun ini berpotensi meningkatkan pendapatan iklan emiten-emiten media.
Dari empat sekuritas yang dirangkum Bisnis.com, sebanyak dua sekuritas memberikan outlook overweight atas sektor media, yakni Ciptadana Sekuritas dan Danareksa Sekuritas. Sementara itu, dua lainnya memberikan outlook netral, yakni Sinarmas Sekuritas dan Samuel Sekuritas Indonesia.
Dua emiten media yang menjadi sorotan utama sekaligus pilihan para analis yakni PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNCN) dan PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA).
Robert Sebastian, analis Ciptadana Sekuritas, mengatakan bahwa tren iklan politik sudah menunjukkan peningkatan sejak tahun lalu. Sebagai gambaran, pada Januari 2018 iklan pemerintah dan partai politik hanya Rp1,8 triliun, tetapi pada Juli 2018 sudah mencapai Rp4,1 triliun.
Dirinya meyakini, belanja iklan pemerintah dan partai politik terus meningkat sepanjang kuartal keempat 2018 dan memuncak pada kuartal pertama 2019, sehingga memberikan keuntungan bagi emiten media.
Robert percaya, prospek emiten televisi masih tinggi, menimbang hingga kini kue iklan terbesar masih dinikmati oleh media televisi. Per Juli 2018, total belanja iklan media di Indonesia mencapai Rp75,1 triliun.
Baca Juga
Dari nilai itu, 82% dinikmati oleh televisi, diikuti media cetak 16%, dan sisanya di berbagai platform media lainnya. Nilai iklan di televisi meningkat 10% per Juli 2018 senilai Rp61,6 triliun. Televisi dinilai masih menjadi media iklan paling efektif, sebab mampu menjangkau pemirsa dari beragam kalangan.
DIDORONG POPULASI
Berdasarkan riset Nielsen yang dikutip Ciptadana, 96% konsumer di Indonesia masih menonton televisi setiap hari. Robert meyakini bahwa dengan terus bertumbuhnya populasi Indonesia, masih akan ada ruang peningkatan bagi bisnis media televisi.
Menurutnya, iklan media tahun ini masih akan banyak berasal dari perusahaan jasa online dan industri e-commerce yang kini makin ketat persaingannya. Televisi masih dilihat sebagai media yang efektif untuk menarik perhatian publik dan memenangkan market share dari beragam lapisan sosial masyarakat.
“Kami juga melihat pemulihan konsumsi tahun 2019 karena meningkatnya belanja sosial pemerintah untuk meningkatkan daya beli. Situasi ini akan mendukung perusahaan FMCG untuk mengalokasikan iklan lebih besar,” katanya dalam riset belum lama ini.
Robert memilih SCMA sebagai top pick dengan target harga Rp2.270.
Kenji Fanata, analis Ekuitas Sinarmas Sekuritas, justru menurunkan outlook atas sektor media menjadi netral karena melihat kendati televisi masih mendominasi pangsa pasar iklan, tetapi pertumbuhannya mulai melambat. Ini disinyalir akibat mulai beralihnya pengiklan pada media digital.
Berdasarkan informasi dari manajemen sejumlah emiten FMCG besar, seperti Kalbe Farma, Mayora, dan Unilever, mereka tampak mengubah alokasi belanja iklan mereka pada promosi langsung dan iklan digital, sembari mengurangi alokasi pada iklan televisi.
“Kami percaya bahwa tren ini tampaknya akan berlanjut sebagai akibat dari digitalisai, yang mana akan menekan kemampuan perusahaan media untuk menegosiasikan tariff mereka untuk perusahaan FMCG,” ungkapnya.
Sementara itu, di antara SCMA dan MNCN, Kenji memfavoritkan SCMA. Berdasarkan data Nielsen, sejak awal tahun lalu pangsa pasar SCMA terus meningkat dan tampaknya mampu bertahan di posisi puncak menggeser MNCN.
Sejak akuisisi Sinemart oleh SCMA, rata-rata pemirsa SCMA pada prime time meningkat bertahap dari 25,1% pada 2016, menjadi 29,2% pada 2017, dan 35% per November 2018. Sepanjang 2019, dirinya menilai SCMA akan mampu mempertahankan momentumnya, meskipun tidak ada lagi pendorong tambahan dari event besar tahun ini.
Kenji memberi rekomendasi beli atas saham SCMA dengan target harga Rp2.250, tetapi menurunkan rekomendasi untuk MNCN dari beli menjadi netral dengan target harga Rp920.
Mariene Tanumihardja, analis Samuel Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa media televisi diuntungkan oleh momen pemilu, seperti yang terjadi pada 2014 lalu. Saat itu, media MNCN memiliki pendapatan iklan kampanye pilpres tertinggi.
Namun, untuk jangka panjang, katalis positif untuk sektor media akan bergantung tiga faktor. Pertama, persentase penetrasi internet masih rendah dibandingkan dengan televisi, yakni 99,8% berbanding 42,5%.
Kedua, jumlah populasi usia produktif sangat besar, sedangkan rasio belanja iklan per GDP masih sangat rendah. Ketiga, struktur masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih besar, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih media konvensional.
Sementara itu, potensi risiko yang dihadapi yakni konsistensi peraturan pemerintah, depresiasi nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi yang di bahwa ekspektasi. Pertumbuhan iklan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Mariene merekomendasikan beli untuk MNCN dan SCMA, tetapi lebih memfavoritkan SCMA sebagai pilihan utama. Target harga keduanya yakni Rp1.960 untuk SCMA dan Rp1.060 untuk MNCN.
SCMA memiliki keunggulan dari sudut pandang kuatnya struktur neraca keuangan dengan solvabilitas yang tinggi, eksposur terhadap utang jangka panjang yang rendah dengan inovasi yang berkesinambungan. SCMA juga diuntungkan dengan rencana buyback.
Ignatius Teguh Prayoga, analis Danareksa Sekuritas, mengatakan bahwa baik SCMA maupun MNCN berencana untuk memasuki pasar digital tahun ini untuk mengejar pertumbuhan lebih tinggi.
SCMA berencana untuk mengakuisisi KLY dan Vidio.com dengan ekspektasi kontribusi terhadap pendapatan mencapai 35% - 40% ketika selesai sekitar 3 tahun. MNCN akan fokus pada monetisasi perpustakaan konten-nya dengan menjualnya pada beragam platform OTT dan streaming video.
“Kami mengestimasikan margin kotor dan margin ebitda sedikit lebih baik tahun ini karena normalisasi biaya menyebabkan naiknya pendapatan. Dengan belanja modal yang cenderung lebih rendah, kami berharap SCMA akan mempertahankan kas bersihnya, sedangkan MNCN memiliki net gearing yang stabil,” ungkapnya.
Ignatius juga merekomendasikan beli saham SCMA dan MNCN, dengan target harga masing-masing Rp2.350 dan 1.450. Sama seperti ketiga sekuritas lainnya, Ignatius memilih saham SCMA sebagai top pick.