Bisnis.com, JAKARTA – Dua indeks saham acuan Jepang memperpanjang pelemahannya pada akhir perdagangan hari ini, Rabu (31/1/2018), seiring berlanjutnya penguatan kinerja mata uang yen.
Indeks Topix hari ini dibuka turun 0,43% atau 7,94 poin di level 1.850,19 dan berakhir melemah 1,15% atau 21,42 poin di level 1.836,71. Pada perdagangan Selasa (30/1), Topix ditutup melemah 1,19% atau 22,32 poin di posisi 1.858,13.
Dari 2.059 saham pada indeks Topix, 385 saham di antaranya menguat, 1.618 saham melemah, dan 56 saham stagnan. Saham Toyota Motor Corp. (-1,95%), Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. (-2,18%), dan Honda Motor Co. Ltd. (-2,52%) menjadi penekan utama terhadap pelemahan Topix pada perdagangan hari ini.
Adapun indeks Nikkei 225 berakhir di zona merah untuk perdagangan hari keenam berturut-turut. Nikkei hari ini berakhir melemah 0,83% atau 193,68 poin di level 23.098,29, setelah dibuka turun 0,37% atau 86,74 poin di posisi 23.205,23.
Sebanyak 36 saham menguat, 185 saham melemah, dan 4 saham stagnan dari 225 saham pada indeks Nikkei. Saham Tokyo Electron Ltd. yang anjlok 4,73% menjadi penekan utama terhadap berlanjutnya pelemahan Nikkei hari ini, diikuti Fujifilm Holdings Corp. (-8,32%) dan Secom Co. Ltd. (-2,79%).
Sementara itu, nilai tukar yen terpantau lanjut menguat 0,05% atau 0,05 poin ke posisi 108,73 per dolar AS pada pukul 14.09 WIB, setelah pada Selasa (30/1) berakhir menguat 0,17% atau 0,18 poin di posisi 108,78.
Dilansir Bloomberg, Topix mengalami pelemahan di hari kedua berturut-turut setelah imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun naik melampaui 2,7%, level tertinggi sejak April 2014. Saham produsen mobil dan bank menjadi penekan terbesar terhadap Topix.
“Ada pandangan bahwa Goldilocks market, dengan suku bunga yang rendah, akan turun karena suku bunga mungkin naik karena kekhawatiran inflasi yang lebih tinggi sementara ekonomi AS stabil,” kata Mitsushige Akino, seorang eksekutif Ichiyoshi Asset Management Co. di Tokyo.
“Imbal hasil obligasi yang mencapai 2,7% adalah tingkat dimana Goldilocks market mulai turun, dan jika imbal hasil naik di atas 3%, mungkin akan berakhir sama sekali,” lanjut Akino, seperti dikutip dari Bloomberg.