Bisnis.com, JAKARTA - Meredupnya Bisnis Gas PGAS Bak jatuh tertimpa tangga. Begitu kira-kira gambaran kinerja perusahaan infrastruktur gas milik negara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. sejauh ini.
Tekanan bertubi-tubi terus menerpa kinerja perseroan. Tidak hanya terpapar efek perlambatan ekonomi nasional, kini emiten tersebut juga harus menghadapi dampak dari rencana pemerintah menurunkan harga gas untuk keperluan industri.
Sebagai gambaran, emiten berkode saham PGAS tersebut membukukan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$227,33 juta atau sekitar Rp3,19 triliun pada semester I/2015, atau turun 38% dibandingkan dengan US$370,05 juta pada periode sama 2014.
Perusahaan itu membukukan pendapatan US$1,41 miliar atau sekitar Rp19,91 triliun pada paruh pertama tahun ini, turun 12,92% secara tahunan. Perlambatan kinerja itu telah terjadi sejak kuartal I/2015.
Dalam sejumlah riset, para analis menilai kinerja perseroan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I/2015. Kinerja PGAS dianggap mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang melambat pada paruh pertama tahun ini.
“Perlambatan ekonomi telah mempe-ngaruhi permintaan terhadap gas alam dari konsumen industri dan pembangkit listrik,” tulis analis UOB Kay Hian Franky Kumendong dalam riset yang dirilis pada Kamis (3/9).
Seperti diketahui, konsumen gas yang disalurkan oleh PGAS paling banyak berasal dari kalangan industri, termasuk industri keramik dan petrokimia, serta pembangkit listrik, terutama yang dijalankan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Apabila industri keramik mengalami perlambatan kinerja, maka akan berdampak terhadap kinerja PGAS. Situasi yang dianggap belum menguntungkan itu kemudian ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Namun, harapan masih ada pada semester II/2015. “Kami melihat permintaan atas gas alam bisa kembali meningkat pada semester II/2015 seiring upaya pemerintah untuk merangsang perekonomian dengan mengakselerasi belanja infrastruktur dan meluncurkan berbagai stimulus fiskal,” seperti dikutip dari riset itu.
Norman Choong, analis RHB OSK Securities Indonesia, menyatakan berdasarkan pembicaraan dengan pihak PGAS, total penjualan gas pada kuartal II/2015 sama seperti kuartal I/2015 yakni sekitar 800 mmscfd. Penjualan gas alam dari Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Lampung juga stagnan.
Menanggapi kondisi tersebut, Direktur Utama Perusahaan Gas Negara Hendri Prio Santoso memperkirakan penjualan perseroan bakal terkoreksi seiring penurunan permintaan. “Topline [pendapatan] pasti turun. Kan saya bilang demand-nya turun, bottomline [laba bersih] juga menurun. Just like other companies -lah yang ada di Indonesia maupun internasional,” katanya beberapa waktu lalu.
PENURUNAN PERMINTAAN
Penurunan kinerja yang dialami oleh perusahaan tersebut, menurutnya, disebabkan berkurangnya permintaan dari dua pelanggaran perusahaan yakni segmen industri dan ketenagalistrikan.
“Yang tidak turun adalah rumah tangga dan usaha kecil untuk serapan gas. Usaha kecil cenderung naik. Volume yang paling besar dari power dan industri. Kami refleksi dari perlambatan ekonomi tersebut,” katanya.
Perseroan, lanjutnya, akan melakukan penyesuaian dari kondisi di sektor manufaktur yang mengalami kesulitan melakukan penjualan produk, termasuk ekspor. “Dari banyak pelanggan kami, inventaris menumpuk di gudang,” katanya.
Di tengah perlambatan kinerja tersebut, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat rencana untuk penurunan harga gas untuk keperluan industri untuk merangsang pertumbuhan ekonomi serta menurunkan tarif listrik.
Kebijakan itu diperkirakan semakin mempengaruhi kinerja PGAS. Berdasarkan riset DBS Vickers Securities, rencana itu bakal berdampak negatif terhadap kinerja perseroan.
“Kami percaya rencana regulasi itu negatif bagi PGAS sebagai penyalur gas terbesar di Indonesia dan rencana yang telah diusulkan menambah tekanan terhadap profitabilitas dan pertumbuhan pendapatan, melengkapi lemahnya permintaan gas,” seperti dikutip dari riset tersebut yang diperoleh Bisnis.com pada Selasa (8/9).
Berdasarkan catatan DBS Vickers Securities, industri ingin harga gas alam diturunkan menjadi US$7 per mmbtu, atau lebih rendah dibandingkan dengan US$9 per mmbtu pada saat ini. Rencana itu juga didukung oleh Badan Koordinasi Penananam Modal (BKPM) karena dianggap dapat menggenjot kegiatan industri.
Berbagai sentimen tersebut tercermin pada harga saham PGAS yang turun tajam sejak awal tahun ini. Pada akhir tahun lalu, harga saham PGAS mencapai Rp.6000 dan terus menurun hingga di bawah level Rp3.000 pada awal September 2015.
Sejauh ini, bukannya tidak ada rencana pemerintah yang dapat mengungkit kinerja perseroan. Kementerian BUMN akan men-dukung PGAS terlibat dalam sinergi BUMN dengan perusahaan pelat merah lainnya.
Salah satu langkah awal yang ditempuh adalah rencana penggunaan bahan bakar gas oleh kapal yang dikelola oleh PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) dan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan diharapkan juga dapat diikuti oleh pihak swasta.
Namun, seperti yang disampaikan oleh Hendi, masih terlalu dini untuk memperkirakan potensi pendapatan dari sinergi BUMN tersebut. Kontribusi usaha perseroan paling besar tetap mengandalkan industri dan pembangkit listrik. Masihkah ada harapan bagi PGAS?