Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah dan Bank Indonesia tidak bisa terus menggunakan fundamental ekonomi yang kuat sebagai alasan bersikap pasif.
Nilai rupiah yang anjlok di saat kondisi ekonomi Indonesia solid justru menunjukkan ada permasalahan domestik yang harus segera diatasi otoritas moneter dan fiskal.
Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas, mengatakan pelemahan rupiah semakin mengkhawatirkan karena laju penurunan nilai tukar mata uang Indonesia lebih tajam dibandingkan mata uang lain di Asia.
NIlai tukar rupiah terhadap dolar AS telah merosot 6,07% sejak awal tahun. Rupiah jatuh paling dalam di Asia jika dibandingkan dengan ringgit (-5,85%), won (-3,26%), dan yen (1,34%).
Lana menjelaskan kondisi tersebut menunjukkan faktor eksternal bukan alasan tunggal. Rupiah juga tertekan oleh faktor pembelian dolar AS di dalam negeri.
Pembelian dolar, lanjutnya, bisa disebabkan oleh kebutuhan perusahaan importir menjelang produksi lebaran atau kebutuhan untuk membayar utang luar negeri.
Namun, pelemahan rupiah juga bisa didorong oleh selisih antara pasar uang domestik dengan pasar uang Singapura.
Pemerintah dan BI harus segera merancang kebijakan untuk mengatasi tekanan dari domestik. Koordinasi Presiden Joko Widodo dengan BI dan OJK kemarin sore di Istana Negara diharapkan bisa menghasilkan kebijakan untuk mencegah kondisi rupiah semakin buruk.
“Saya pikir yang paling tahu BI, teman-teman treasury di bank. Siapa yang beli di dalam negeri?” kata Lana ketika dihubungi bisnis, Rabu (11/3/2015).