2. Fundamental Ekonomi: Rapuh vs Relatif Solid
Pada 1998, fundamental ekonomi Indonesia memang benar-benar rapuh. Cadangan devisa sempat elorot bahkan hingga di angka hanya US$15 miliar (Menurut penuturan pejabat BI kala itu bahkan disebutkan di bawah US$10 miliar). Saat itu, posisi cadangan devisa Indonesia yang terbaik hanya berkisar di angka US$21 miliar - US$25 miliar, sementara beban utang begitu besar. Debt to GDP ratio bahkan sempat mencapai 60%, yang berarti penghasilan dari ekspor dan kekayaan Indonesia hanya habis untuk membayar utang.
Jauh sebelum 1998, pemerintahan Soeharto pernah mengatakan nggak perlu khawatir soal utang Indonesia, karena aset BUMN relatif besar untuk membayar utang. Akhirnya kejadian, pemerintah harus menjual aset (privatisasi) BUMN untuk menombok kewajiban negara, bahkan membiayai APBN untuk membiayai penyelenggaraan negara termasuk menggaji pegawai negeri.
Saat ini, situasi jauh berbeda. Cadangan devisa sudah melampaui US$111 miliar, dan rasio utang terhadap GDP relatif rendah.
Namun persoalan yang kini dihadapi adalah defisit transaksi berjalan akibat pertumbuhan konsumsi domestik yang besar, dan harus dipenuhi dari impor. Begitu pula industri manufaktur pun harus mengimpor bahan baku atau barang modal. Indonesia juga impor bahan bakar minyak (BBM) dalam jumlah besar karena kilang di dalam negeri sudah uzur. Masalah struktural inilah yang perlu diselesaikan, untuk mengatasi tekanan defisit transaksi berjalan.