Bisnis.com, JAKARTA – Kesuksesan pemerintah meraup US$1,5 miliar dari penawaran sukuk global dengan imbal hasil 6,125% dan kupon 6,375% mengindikasikan risiko berinvestasi di Indonesia terus meningkat di tengah sentimen negatif ekonomi global.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menuturkan permintaan terhadap sukuk global tersebup meningkat hampir enam kali lipat atau senilai US$5,6 miliar.
“Pricing sukuk global selesai dilakukan pada 11 September pukul 01.15 WIB. Total dana yang diserap US$1,5 miliar dari US$5,6 miliar total order,” ujarnya, Rabu (11/9/2013).
Robert menjelaskan sukuk global tersebut bertenor 5,5 tahun sehingga akan jatuh tempo pada Maret 2019, dengan komposisi sebanyak 24% sukuk global dimiliki oleh investor di AS, 16% di Eropa, 20% di Timur Tengah, 25% di Asia, dan 15% di domestik.
Dalam penerbitan sukuk global itu Deutsche Bank AG, Standard Chartered Plc dan Citigroup Inc terpilih sebagai joint lead managers yang menangani proses penerbitan sukuk berdenominasi valas tersebut. Adapun Danareksa Sekuritas dan Bahana Securities bertindak sebagai local bookrunner.
Lana Soelistianingsih, Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, menuturkan besarnya total penawaran masuk yang mencapai US$5,6 miliar memberikan sinyal investor asing masih tertarik dengan obligasi valas Indonesia.
“Sebetulnya kondisi tersebut juga memperlihatkan risiko Indonesia cukup tinggi, walaupun Indonesia memiliki investment grade, dengan permintaan imbal hasil tinggi tersebut,” katanya.
Sebagai perbandingan, pemerintah memberikan imbal hasil 8,8% pada penerbitan perdana sukuk global pada 2009. Selain itu, pada November 2012, imbal hasil 3,3% ditawarkan untuk sukuk valas senilai US$1 miliar bertenor 10 tahun.
Seperti dilansir Bloomberg, Rabu (11/9/2013), obligasi valas Indonesia memiliki performa terburuk pada tahun ini di antara 11 negara berkembang lainnya dengan indikator HSBC Holdings Plc indexes turun 18%.
Standard & Poor’s memberikan rating BB+, atau pada posisi teratas di level junk, kepada sukuk global tersebut yang merefleksikan pelemahan kebijakan dan tekanan eksternal.
Sementara itu, Moody’s Investors Service dan Fitch Ratings memberikan peringkat terendah bagi sukuk tersebut akibat melebarnya neraca perdagangan Indonesia pada Agustus yang dapat mengganggu perekonomian dan penurunan peringkat. (ra)