Bisnis.com, JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi meraih katalis positif dari sinyal dovish The Fed yang mengisyaratkan pemangkasan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) pada September 2025.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan indeks komposit parkir di level 7.938,83 atau tumbuh 1,02% pada perdagangan sesi I, Senin (25/8/2025). Total, sebanyak 24,21 miliar saham diperdagangkan dengan nilai turnover Rp10,68 triliun.
Kenaikan ini terjadi setelah IHSG melemah 0,50% ke level 7.858,85 selama perdagangan 19-22 Agustus 2025. Rata-rata nilai transaksi harian juga turun menjadi Rp17,92 triliun dan kapitalisasi pasar melemah 0,81% menjadi Rp14.131 triliun.
Seiring hal itu, nilai beli bersih asing di pasar saham turut melambat secara mingguan. Melansir data otoritas bursa, asing membukukan net buy senilai Rp2,73 triliun selama sepekan, menurun tajam dari Rp6,67 triliun pada minggu sebelumnya.
Namun, akhir pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengisyaratkan kemungkinan pemangkasan suku bunga pada September 2025 di Jackson Hole, seiring meningkatnya risiko di pasar tenaga kerja meskipun inflasi masih menjadi perhatian.
Kondisi tersebut dinilai berpotensi menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebab, suku bunga AS yang lebih rendah membuat imbal hasil obligasi AS turun, sehingga investor global cenderung mencari return lebih tinggi ke emerging market
Baca Juga
Hasilnya, sederet saham bank dengan kapitalisasi jumbo kompak menguat hingga perdagangan sesi I. Saham BBRI mencatat kenaikan 2,93%, diikuti BBNI sebesar 2,05%, saham BMRI tumbuh 1,64%, sementara BBCA menguat 0,30%.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan reli saham perbankan saat ini menjadi motor penguatan indeks komposit seturut dengan meningkatnya ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga acuan AS.
“Dinamika ini terutama dipengaruhi oleh ekspektasi penurunan suku bunga acuan, baik dari The Fed yang diproyeksikan dimulai September maupun dari Bank Indonesia,” ujar Nafan saat dihubungi Bisnis, Senin (25/8/2025).
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) di luar ekspektasi kembali memangkas BI Rate menjadi 5% pada Agustus 2025. Secara kumulatif, bank sentral telah menurunkan suku bunga sebanyak 100 basis poin sejak awal tahun. Keputusan ini disebut mencerminkan sikap proaktif BI dalam memitigasi dan menerapkan langkah forward looking.
Kendati demikian, sejumlah faktor risiko tetap membayangi IHSG ke depan. Salah satunya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara quarter on quarter (QoQ) pada kuartal III/2025, yang diperkirakan lebih rendah.
Adapun konsumsi domestik juga masih melemah. Untuk itu, Nafan menyatakan kontribusi investasi menjadi kunci untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
“Kontribusi investasi diharapkan bisa menopang pertumbuhan agar tetap 5%. Namun, proyeksi IMF terbaru masih menempatkan pertumbuhan Indonesia di bawah 5%, lebih rendah dari target 5,2% di dalam RAPBN 2026. Ini menjadi tantangan,” kata Nafan.
Dari sisi global, dia menilai kebijakan The Fed masih terbilang hati-hati. Bank sentral AS diperkirakan hanya memangkas suku bunga acuan sebesar 20 basis poin. Padahal, peluang untuk pemangkasan lebih dalam dinilai masih terbuka.
Menurut Nafan, ketidakpastian arah kebijakan moneter AS menjadi risiko headwinds bagi pasar lantaran investor relatif membutuhkan kepastian, termasuk soal minimnya intervensi politik terhadap kebijakan The Fed.
“Komitmen pemerintah melalui KSSK dan elite politik juga penting untuk memitigasi risiko-risiko krusial ini. Tujuannya agar momentum net buy bisa terjaga,” tuturnya.
Nafan menilai momentum net buy asing berpeluang terjaga apabila The Fed benar-benar menurunkan suku bunga acuan pada September 2025. Mirae Asset memperkirakan IHSG akan bergerak di kisaran 7.680–8.225 pada kuartal III/2025.
________________
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.