Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia melonjak lebih dari 3%, didorong oleh meningkatnya tekanan Presiden AS Donald Trump terhadap Rusia terkait perang di Ukraina serta optimisme pasar atas meredanya tensi perang dagang antara AS dan mitra-mitra dagang utamanya.
Melansir Reuters pada Rabu (30/7/2025) harga minyak jenis Brent untuk kontrak Oktober ditutup naik US$2,47 atau 3,53% ke level US$72,51 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) menguat US$2,50 atau 3,75% ke US$69,21 per barel.
Kedua harga minyak acuan tersebut mencatat level penutupan tertinggi sejak 20 Juni 2025.
Pada Selasa, Trump menyatakan akan mulai memberlakukan tarif dan tindakan lainnya terhadap Rusia dalam waktu 10 hari, jika Moskow tidak menunjukkan kemajuan nyata untuk mengakhiri perang di Ukraina.
“AS meningkatkan tekanannya. Ada tenggat tegas 10 hari dan ada sinyal bahwa negara-negara lain juga akan bergabung," ujar Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan telah memperingatkan pejabat China bahwa Negeri Tirai Bambu bisa dikenakan tarif tinggi apabila terus membeli minyak dari Rusia, menyusul kebijakan sekunder AS terkait sanksi energi terhadap Moskow.
Baca Juga
Pernyataan itu disampaikan usai dua hari pembicaraan bilateral AS-China yang bertujuan meredakan konflik dagang berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia.
Harga minyak juga mendapat dukungan dari tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan Uni Eropa yang mengenakan tarif impor sebesar 15% terhadap sebagian besar produk UE, namun menghindari potensi perang dagang besar-besaran.
Langkah ini dinilai mampu menjaga stabilitas sekitar sepertiga dari volume perdagangan global dan menopang prospek permintaan energi.
Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger menyebut ada optimisme atas arah kesepakatan dagang ini. Menurutnya, kesepakatannya memang tidak sempurna, terutama bagi pihak Eropa, tapi jelas jauh lebih baik dari yang dikhawatirkan.
Kesepakatan itu juga mencakup komitmen pembelian energi AS oleh Uni Eropa senilai US$750 miliar dalam tiga tahun ke depan. Namun, analis menilai target tersebut nyaris mustahil dicapai. Selain itu, perusahaan-perusahaan Eropa disebut akan menanamkan investasi senilai US$600 miliar di AS selama masa jabatan Trump.
Pelaku pasar juga menanti hasil pertemuan kebijakan The Federal Reserve yang digelar Selasa–Rabu pekan ini. The Fed secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga, namun analis menilai bank sentral AS bisa memberi sinyal kebijakan yang lebih dovish menyusul tanda-tanda meredanya inflasi.
“Dengan inflasi yang mulai melambat, The Fed kemungkinan akan tetap berhati-hati dan membuka ruang pelonggaran di masa mendatang,” ujar Priyanka Sachdeva, analis pasar senior di Phillip Nova.