Bisnis.com, JAKARTA – Proyeksi analis mengenai arah harga emas terpecah antara tren bearish dan sikap netral, di tengah meredanya ketegangan dari ancaman tarif Presiden AS Donald Trump.
Melansir Kitco Metals, Senin (28/7/2025), survei mingguan Kitco News menunjukkan para analis industri emas kini terpecah antara sikap bearish dan netral, sementara para investor ritel tetap mempertahankan pandangan optimistis terhadap prospek emas dalam waktu dekat.
Analis senior Barchart.com Darin Newsom mengatakan harga emas masih akan bergerak sideways dalam waktu dekat. Tidak ada alasan kuat bagi emas untuk anjlok saat ini, meskipun bisa saja melemah perlahan seiring pergeseran minat beli ke logam lain seperti perak dan tembaga.
”Tapi alasan utama kekuatan emas yang menjadi aset lindung nilai terhadap ketidakpastian global yang terus berlanjut dan belum berubah,” ungkap Newsom seperti dilansir Kitco Metals.
Newsom juga menyoroti spekulasi bahwa China telah membeli lebih banyak emas dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Saya tidak melihat pasokan itu akan membanjiri pasar dalam waktu dekat,” katanya.
Baca Juga
Sementara itu, analis Commerzbank menilai emas sedang mencari arah di tengah potensi tercapainya berbagai kesepakatan dagang yang secara bertahap menggerus daya tarik emas sebagai aset aman.
Mereka mengambil posisi netral dalam jangka pendek dan menilai harga telah mencapai titik jenuh untuk saat ini.
Melansir Reuters, harga emas di pasar spot tercatat melemah 0,38% sepekan lalu ke level 3.338,36 per troy ounce. Sementara itu, harga emas berjangka Comex di AS tercatat melemah 0,68% ke level US$3.335,6 per troy ounce.
Penguatan indeks dolar AS dari posisi terendah dalam lebih dari dua pekan membuat harga emas menjadi lebih mahal bagi pembeli internasional.
Masih Akan Menguat
Sebaliknya, Presiden dan COO Asset Strategies International Rich Checkan yakin harga emas akan naik pada pekan ini. Ia memandang penurunan harga pada pekan lalu justru menjadi fondasi untuk penguatan pekan ini.
”Jika The Fed sesuai ekspektasi dan menahan suku bunga, emas dan perak akan terus naik. Jika The Fed memangkas suku bunga, keduanya akan melonjak lebih tinggi. Dalam kedua skenario: harga naik,” ungkapnya.
Sementara itu, analis Phoenix Futures Kevin Grady mencatat bahwa kabar positif terkait negosiasi tarif menekan harga logam mulia.
“Setiap kali muncul kabar baik—baik dari Jepang, Uni Eropa, Inggris, hingga India—emas sempat tergelincir, tapi lalu memantul kembali,” katanya.
Ia juga menyebut aktivitas perdagangan pada Jumat yang cenderung tipis membuat algoritma lebih sensitif terhadap berita. Saat saham naik, logam cenderung melemah. Hal tersebut menjadi pola yang dibaca oleh algoritma.
Namun, menurutnya, koreksi kali ini tidak akan terlalu dalam. “Mungkin akan mundur sedikit, tapi saya tidak memperkirakan harga akan jatuh ke US$2.700,” ungkapnya.
Pada pekan ini, Grady menyebut fokus utama pasar adalah pada pernyataan The Fed, data inflasi PCE, dan laporan ketenagakerjaan nonfarm payrolls. Seluruh sentimen tersebut akan mengindikasikan arah kebijakan September mendatang.
Ia menilai bahwa dengan meredanya harga energi dan data inflasi yang relatif jinak, The Fed sebenarnya punya alasan untuk mulai melonggarkan kebijakan.
“Intinya ada pada suku bunga, Tapi saya tidak yakin mereka (The Fed) akan langsung bertindak,” ungkapnya.
Menurutnya, pernyataan pasca-pertemuan Fed akan menjadi krusial. Akan ada perbedaan pendapat di internal The Fed. Hal ini karena alasan-alasan sebelumnya soal inflasi, harga energi, hingga tarif, seluruhnya semuanya belum benar-benar terjadi.
Grady menyimpulkan bahwa Powell setidaknya harus memberi sinyal dovish. Bahkan jika saham menguat karena sikap The Fed, bukan berarti emas tidak ikut reli. Ia juga menegaskan bahwa bank sentral dunia tetap akan membeli emas.
“Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Banyak yang ingin menjauh dari dominasi dolar AS, dan tren itu akan terus berjalan. Cukup lihat grafik — emas dan saham naik bersama, masing-masing karena alasan mereka sendiri,” pungkasnya.