Bisnis.com, KUALA LUMPUR — CIMB Group Holdings Bhd. menyampaikan pandangannya terkait pertumbuhan ekonomi, pergerakan rupiah, dan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2025 di tengah tantangan pasar global.
Ng Boon Hoa, Chief Investment Office Fixed Income CIMB Group, menyampaikan perekonomian Asean dan global pada 2025 menghadapi tantangan seperti ketidakpastian tarif perdagangan dari Presiden AS Donald Trump hingga kebijakan suku bunga. Oleh karena itu, bank sentral akan berupaya memacu ekonomi dengan memangkas suku bunga acuan pada paruh kedua tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan menurun ke level 4,8% dari tahun sebelumnya 5%. Hal itu sejalan dengan perlambatan inflasi menjadi 1,8% dari sebelumnya 2,3%. Pada 2026, ekonomi Indonesia diperkirakan bangkit kembali ke 5% dengan tingkat inflasi 2,5%.
“Indonesia menghadapi tekanan arus keluar dana asing sehingga turut menekan kinerja nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” paparnya dalam acara CIMB Group Media Day 2025 Advancing in ASEAN, Senin (21/7/2025).
Arus keluar dana asing diperkirakan masih berlanjut pada semester II/2025 meskipun diperkirakan membaik. Rupiah pun diprediksi mencapai level Rp16.500 per dolar AS pada kuartal III/2025 dan Rp16.420 per dolar AS pada kuartal IV/2025.
Ng Boon Hoa menyoroti arus keluar dana asing di Indonesia terutama terjadi di pasar saham, sedangkan di pasar obligasi mereka masih gencar melakukan pembelian.
Baca Juga
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), per Senin (21/7/2025), nilai jual bersih (net sell) investor asing mencapai Rp59,68 triliun atau setara US$3,65 miliar secara year to date (YtD). IHSG berada di level 7.398,19, naik 4,50% YtD.
Dari sisi kinerja, pertumbuhan laba emiten pada 2025 diperkirakan cukup baik mencapai 8,4%. Secara valuasi, IHSG menjadi salah satu pasar yang menarik perhatian di Asean dengan price to earning ratio (PER) yang sempat mencapai 10,3 kali.
CIMB Grup menargetkan IHSG tahun ini mencapai level 7.455 yang menunjukkan PER 11 kali, dengan rating netral. Katalis utama yang mendukung pasar modal Indonesia ialah dukungan pemerintah, seperti melalui Danantara dan BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan likuiditas.
“Jadi dampak arus keluar dana asing ke pasar saham tampaknya dinetralisir dukungan dari pemerintah. Semoga aksi jual berhenti dan investor asing mulai melihat Indonesia secara lebih positif dan kembali masuk, karena valuasi pasar saat ini cukup murah,” jelasnya.
Menurut Ng Boon Hoa, pemerintah juga perlu meningkatkan stimulus fiskal untuk membantu mengatasi tren melambatnya konsumsi kelas menengah dan bawah. Di sisi lain, perjanjian dagang Indonesia—AS dengan tarif yang lebih rendah sebesar 19% dalam meningkatkan daya saing ekspor ke depan.
Secara umum, pasar Asia diperkirakan membaik ke depannya seiring dengan pelemahan dolar AS dan fundamental ekonomi kawasan yang baik. Sentimen ini akan menjadi penopang pasar saham dan obligasi di Benua Kuning.