Bisnis.com, JAKARTA — Indeks harga saham gabungan (IHSG) sedang berada di fase bullish dengan menghijau 9 hari perdagangan berturut-turut. Meski demikian, investor asing terus keluar dari pasar saham Indonesia dengan nilai akumulasi net sell menebus Rp60 triliun.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, IHSG sudah melonjak 6,05% dari level 6.865,19 pada 4 Juli 2025 ke level 7.280,89 pada hari ini hingga pukul 10.20 WIB. Kenaikan itu dicapai bertahap setelah IHSG terus-menerus ditutup menghijau sepanjang perdagangan 7—17 Juli 2025.
Saat IHSG menghijau, akumulasi nilai jual bersih atau net sell investor asing tercatat makin meningkat. Hingga perdagangan Rabu (17/6/2025), total net sell asing tercatat sudah mencapai Rp60,42 triliun atau setara dengan US$3,7 miliar.
Berdasarkan data BRI Danareksa Sekuritas, aliran keluar investor asing cukup deras dalam periode 1-11 Juli 2025. Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) paling banyak dilego asing dengan nilai net sell Rp1,98 triliun.
Selain BBCA, saham BBRI tercatat mengakumulasi net sell Rp309,9 miliar, ANTM Rp269,8 miliar, ICBP Rp174,8 miliar, BRMS Rp170 miliar, dan BMRI Rp164,1 miliar.
Net sell itu melanjutkan catatan arus keluar modal asing sepanjang 1-26 Juni 2025. Pada periode tersebut, net sell asing di saham BBCA tercatat mencapai Rp3,96 triliun, BBRI Rp2,82 triliun, BMRI Rp911,7 miliar, ADRO Rp694,1 miliar, CUAN Rp396 miliar, dan ASII Rp343,3 miliar.
Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai meskipun pasar saham Indonesia tersengat oleh sentimen positif penurunan suku bunga acuan BI, tetapi aliran dana investor asing saat ini masih volatil. Di sisi lain, pasar saham Indonesia juga terdampak oleh keputusan tarif resiprokal AS.
Presiden AS Donald Trump baru saja menyatakan bahwa Indonesia bakal dikenakan tarif sebesar 19% atau lebih rendah dari yang sebelumnya 32%. Keputusan tersebut disampaikan Trump usai dilakukannya serangkaian proses negosiasi antara kedua negara hingga akhirnya mencapai kesepakatan.
Namun, ada sejumlah syarat yang diajukan AS ke Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, barang-barang Indonesia yang masuk ke AS bakal dikenakan tarif 19%. Adapun, barang-barang dari AS tidak akan dikenai tarif sama sekali.
"Investor global tetap waspada karena tarif ini menandai potensi memanasnya hubungan dagang, dan bisa berdampak jangka panjang terhadap sentimen makro," ujar Felix kepada Bisnis pada Rabu (16/7/2025).
Sentimen tarif Trump ke Indonesia sebesar 19% dinilai tetap menjadi 'awareness alert' bagi investor, terutama yang memiliki eksposur besar ke pasar ekspor AS. Sektor saham yang bisa terdampak negatif mencakup tekstil dan garmen, alas kaki, hingga komponen otomotif dan farmasi.
Adapun, Community & Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus menilai penurunan suku bunga acuan sebenarnya memberikan sinyal bahwa otoritas moneter siap mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan menstimulus permintaan domestik.
"Kebijakan ini secara historis memiliki korelasi positif dengan peningkatan likuiditas di pasar saham serta memperkuat minat investor asing terhadap aset berisiko, terutama jika didukung oleh inflasi yang terkendali dan outlook fiskal yang tetap solid," ujar Angga.
Khusus bagi saham bank jumbo seperti BMRI dan BBCA, penurunan suku bunga acuan mendorong penyusutan biaya dana dan potensi pertumbuhan kredit yang lebih tinggi.
Sebelumnya, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer menilai pada semester II/2025, aliran dana asing masih akan cukup fluktuatif dan akan sangat bergantung pada dinamika global. Penurunan suku bunga acuan dan stabilitas nilai tukar rupiah menurutnya akan menjadi katalis positif.
Dia menilai, saham perbankan seperti BBCA dan BMRI masih akan menjadi penentu aliran dana asing pada semester II/2025. Selain sektor perbankan, sektor yang bisa memengaruhi aliran dana asing ke depan antara lain energi, khususnya emiten batu bara dan nikel, telekomunikasi, serta emiten konsumen primer yang punya kinerja defensif.
"Fokus investor asing kemungkinan akan beralih ke saham dengan pertumbuhan stabil, dividen menarik, dan eksposur yang minim terhadap risiko geopolitik atau tekanan eksternal lain," tutur Miftahul.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.