Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah dunia menguat seiring dengan meningkatnya ketegangan geopolitik setelah Iran menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) serta tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Vietnam.
Namun, kenaikan harga tertahan akibat lonjakan tak terduga dalam stok minyak mentah AS.
Melansir Reuters pada Kamis (3/7/2025) harga minyak jenis Brent naik US$2 atau 3% ke level US$69,11 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS menguat US$2 atau 3,1% menjadi US$67,45 per barel.
Harga Brent tercatat bergerak dalam rentang US$66,34 hingga US$69,21 per barel sejak 25 Juni, di tengah meredanya kekhawatiran gangguan pasokan di Timur Tengah menyusul gencatan senjata antara Iran dan Israel.
Iran baru-baru ini mengesahkan undang-undang yang mengatur bahwa setiap inspeksi lanjutan terhadap fasilitas nuklirnya oleh IAEA harus mendapat persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Negeri itu menuding IAEA memihak negara-negara Barat dan menjadi dalih bagi serangan udara Israel.
Analis komoditas UBS Giovanni Staunovo menyebut, pasar saat ini mulai memasukkan premi risiko geopolitik ke harga minyak setelah langkah Iran terhadap IAEA.
Baca Juga
“Namun ini masih soal sentimen, belum ada gangguan riil terhadap pasokan minyak," katanya.
Harga minyak juga terdorong oleh kabar tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan Vietnam yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump dan media pemerintah Vietnam. Kesepakatan itu menetapkan tarif sebesar 20% terhadap banyak produk ekspor dari negara Asia Tenggara tersebut.
“Minat risiko investor terlihat meningkat hari ini seiring diumumkannya kesepakatan tarif antara AS dan Vietnam,” tulis analis dari Ritterbusch and Associates dalam catatannya.
Namun, sebagian penguatan harga terkikis setelah Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa stok minyak mentah domestik meningkat 3,8 juta barel menjadi 419 juta barel pada pekan lalu.
Padahal, jajak pendapat Reuters sebelumnya memperkirakan akan terjadi penurunan sebesar 1,8 juta barel. Permintaan bensin juga turun menjadi 8,6 juta barel per hari (bph), menimbulkan kekhawatiran terhadap konsumsi selama musim berkendara musim panas.
Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho menyebut, selama musim panas, angka 9 juta bph biasanya menjadi ambang batas pasar yang sehat.
"Kita sekarang jauh di bawah itu. Ini bukan pertanda baik," katanya.
Sementara itu, rencana peningkatan pasokan oleh OPEC+ tampaknya sudah diantisipasi pasar dan tidak akan mengejutkan dalam waktu dekat, menurut Priyanka Sachdeva, analis pasar senior di Phillip Nova.
Empat sumber OPEC+ mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa kelompok tersebut berencana meningkatkan produksi sebesar 411.000 bph pada bulan depan, sejalan dengan kenaikan yang telah disepakati untuk Mei, Juni, dan Juli.
Arab Saudi sendiri menaikkan ekspornya sebesar 450.000 bph pada Juni dibandingkan bulan sebelumnya, menurut data Kpler—kenaikan bulanan terbesar dalam lebih dari satu tahun.
Namun, secara keseluruhan ekspor OPEC+ relatif stabil atau sedikit menurun sejak Maret, kata Staunovo, dan tren ini diperkirakan bertahan sepanjang musim panas karena peningkatan permintaan energi akibat cuaca panas.
Rilis laporan ketenagakerjaan bulanan AS yang dijadwalkan pada Kamis waktu setempat diperkirakan akan memengaruhi ekspektasi pasar terhadap kedalaman dan waktu pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve pada paruh kedua tahun ini.
“Tingkat suku bunga yang lebih rendah bisa mendorong aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan minyak,” ujar Tony Sycamore, analis di IG.