Suntikan Danantara
Wamildan Tsani menyatakan suntikan dana dari Danantara menjadi momentum penting untuk mengakselerasi kinerja dan mewujudkan target profitabilitas dalam waktu dekat.
“Dengan adanya corporate action dari Danantara, kami proyeksikan pada 2026 menjadi titik balik bagi Garuda Indonesia. Kami optimistis akan membukukan net income yang positif,” ujarnya dalam konferensi pers di Plaza Mandiri, Jakarta pada beberapa waktu lalu (24/6/2025).
Restrukturisasi hingga dukungan dari Danantara dilakukan memang di tengah kondisi GIAA yang masih mencatatkan kinerja keuangan negatif.
Berdasarkan laporan keuangannya, GIAA masih membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$76,48 juta per kuartal I/2025. Meskipun, kerugian maskapai penerbangan pelat merah ini menyusut dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$87,03 juta.
Penyusutan kerugian GIAA didorong oleh kinerja pendapatan usaha yang naik 1,62% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi US$723,56 juta pada kuartal I/2025, dibandingkan US$711,98 juta pada kuartal I/2024.
Raupan pendapatan usaha GIAA dikontribusikan terbesar dari operasi penerbangan US$668,56 juta. Kemudian, segmen usaha jasa pemeliharaan pesawat menyumbang pendapatan usaha sebesar US$95,36 juta. Lalu, pendapatan dari operasi lain-lain sebesar US$93,7 juta.
GIAA pun masih berkutat dengan ekuitas negatif, di mana liabilitas GIAA melebihi asetnya. Tercatat, aset GIAA mencapai US$6,45 miliar per kuartal I/2025. Sementara, liabilitas GIAA mencapai US$7,88 miliar.
Alhasil, ekuitas negatif GIAA mencapai US$1,43 miliar pada periode yang berakhir 31 Maret 2025.
Pengamat BUMN Herry Gunawan juga menilai kegiatan operasional GIAA sebenarnya berkinerja positif. Namun, karena beban keuangannya terlalu besar, sehingga menekan kondisi keuangan perusahaan.
"Saat ini, persoalan terberat dari Garuda, kalau melihat laporan keuangan kuartal I/2025, terutama pada beban sewa serta estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat," ujar Herry kepada Bisnis.
Oleh karena itu, menurutnya sangat penting bagi GIAA untuk melakukan negosiasi ulang dengan perusahaan yang menyewakan pesawat. Apalagi dalam kasus sewa pesawat itu ada malpraktik, sehingga kasusnya sudah mendapatkan keputusan tetap pengadilan di Indonesia.
Analis Sinarmas Sekuritas Isfhan Helmy dalam risetnya memproyeksikan GIAA dapat membukukan laba inti positif pada 2026. GIAA dinilai berada di jalur yang tepat untuk membukukan laba inti positif pada 2026 sekitar US$12 juta.
"Ini [laba] akan mewakili margin bersih 2%, dan akan naik pada tahun-tahun berikutnya mengingat perbaikan operasional. Dalam jangka panjang, proyeksi kami menunjukkan bahwa margin inti harus mencapai 4% setelah 2030," tulis Isfhan dalam risetnya.