Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Serang Iran, Harga Minyak Mentah Bersiap Reli

Harga minyak mentah global diprediksi akan melonjak ketika perdagangan dibuka kembali pekan ini menyusul serangan militer AS terhadap Iran akhir pekan lalu.
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto

Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah global diprediksi akan melonjak sebesar US$3 hingga US$5 per barel ketika perdagangan dibuka kembali pekan ini menyusul serangan militer Amerika Serikat terhadap Iran akhir pekan lalu. 

Meski demikian, kenaikan tajam diprediksi baru akan terjadi jika Iran melakukan aksi balasan besar-besaran yang mengganggu pasokan minyak global.

Kepala Analisis Geopolitik di Rystad Energy dan mantan pejabat OPEC Jorge Leon menyebut, lonjakan harga minyak sangat mungkin terjadi.

“Bahkan tanpa aksi balasan langsung, pasar kemungkinan akan memasukkan premi risiko geopolitik yang lebih tinggi ke dalam harga minyak," ujarnya dikutip dari Reuters, Senin (23/6/2025).

Analis SEB Ole Hvalbye menyebut patokan minyak global Brent bisa naik US$3 hingga US$5 per barel saat pasar dibuka. Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, Brent tercatat di level US$77,01 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di US$73,84.

Analis Saxo Bank, Ole Hansen, memperkirakan minyak mentah dapat dibuka US$4 hingga US$5 lebih tinggi, dengan potensi aksi ambil untung dari pelaku pasar yang sebelumnya membuka posisi beli.

Pada Jumat pekan lalu, harga minyak sempat melemah setelah AS menjatuhkan sanksi baru terhadap entitas yang berkaitan dengan Iran, termasuk dua perusahaan yang berbasis di Hong Kong, serta sanksi terkait kontra-terorisme, menurut pemberitahuan di situs Departemen Keuangan AS.

Sejak konflik dimulai pada 13 Juni 2025, harga Brent tercatat sudah naik 11%, sedangkan WTI menguat sekitar 10%. Ketegangan bermula saat Israel menggempur fasilitas nuklir Iran dan Iran merespons dengan meluncurkan rudal ke sejumlah bangunan di Tel Aviv.

Namun, hingga kini, ketersediaan pasokan yang stabil dan kapasitas produksi cadangan dari anggota OPEC lainnya masih membatasi lonjakan harga minyak lebih lanjut. Analis UBS, Giovanni Staunovo, menilai premi risiko biasanya akan menyusut jika tidak terjadi gangguan pasokan.

"Arah harga minyak selanjutnya akan sangat bergantung pada apakah terjadi gangguan pasokan—yang kemungkinan besar mendorong harga lebih tinggi—atau justru ada deeskalasi konflik yang menurunkan premi risiko," kata Staunovo.

Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa pihaknya telah meluluhlantakkan situs nuklir utama milik Iran dalam serangan yang dilakukan semalam. Langkah ini menjadi bentuk eskalasi terbaru dari konflik di Timur Tengah, dengan AS bergabung dalam serangan militer Israel, sementara Teheran bersumpah untuk membela diri. Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga di OPEC.

Seorang anggota parlemen senior Iran pada 19 Juni lalu mengatakan negaranya dapat menutup Selat Hormuz sebagai bentuk perlawanan terhadap musuhnya. 

Namun, anggota parlemen lainnya menyebut hal itu hanya akan dilakukan jika kepentingan vital Iran benar-benar terancam. Adapun, Sekitar 20% dari konsumsi minyak dunia melewati jalur strategis tersebut.

Adapun, SEB memperingatkan penutupan Selat Hormuz atau perluasan konflik ke produsen minyak regional lainnya dapat secara signifikan mengerek harga minyak. Meski begitu, skenario tersebut dianggap sebagai risiko ekstrem (tail risk) dan bukan skenario dasar, mengingat ketergantungan China terhadap minyak dari Teluk.

Ajay Parmar, Direktur Analisis Minyak dan Transisi Energi di ICIS, menilai kecil kemungkinan Iran bisa mempertahankan blokade selat tersebut dalam jangka panjang.

“Kebanyakan ekspor minyak Iran ke China juga melalui Selat Hormuz. Trump pun kemungkinan tidak akan membiarkan lonjakan harga minyak yang tak terelakkan berlangsung lama. Tekanan diplomatik dari dua ekonomi terbesar dunia akan sangat besar,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper