Bisnis.com, JAKARTA – Pasokan minyak mentah dari Timur Tengah menghadapi tantangan berat seiring dengan eskalasi konflik antara Israel dan Iran. Adapun, analis mengingatkan harga minyak mentah kini ikut terancam akibat ketegangan yang meningkat secara geopolitik.
Tim Analis RBC Capital Markets LLC. yang termasuk Helima Croft mengatakan kondisi Israel dan Iran yang sama-sama menargetkan infrastruktur energi satu sama lain pada serangan hari kedua menjadi perhatian utama pelaku pasar.
Beberapa skenario yang memungkinkan, Israel bisa saja menyerang hub di Kharg Island milik Teheran untuk membatasi aliran minyak mentah. Sementara itu, proksi Iran bisa menyerang fasilitas di Irak.
"Gedung Putih kemungkinan sudah mencari cara untuk membujuk PM Israel Netanyahu untuk tidak menyerang Kharg Island, mengingat hal itu bisa menghapus 90% ekspor minyak Iran," Tim Analis RBC Capital Markets LLC. dalam catatan, dikutip dari Bloomberg, Senin (16/6/2025).
Adapun, semakin lama konflik ini berlangsung, kemungkinan besar Israel akan berupaya membatasi dana apapun yang bisa digunakan Iran untuk membangun kembali program nuklirnya.
Harga minyak mentah memanas seiring dengan berlarut-larunya konflik antara Israel dan Iran. Data Bloomberg menunjukkan harga minyak mentah Brent sempat menanjak 5,5% pada perdagangan awal pekan ini. Pada akhir pekan lalu, harga sempat melesat hingga 7%, menjadi kenaikan tertinggi dalam tiga tahun.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 0,7% menjadi US$73,48 per barel.
Tim Analis RBC melanjutkan, apabila perubahan rezim menjadi agenda utama serangan Israel kali ini, sepertinya para pemimpin di Iran tidak akan terlalu mementingkan soal pasokan minyak mentah. Adapun, krisis ini dikhawatirkan bisa berujung mengganggu aliran minyak di Selat Hormuz.
"Kami pikir penutupan Selat Hormuz sudah menjadi skenario [yang diperbincangkan] pelaku pasar belakangan ini," tulis Tim Analis RBC.