Bisnis.com, JAKARTA — Wall Street melonjak tajam setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan jeda 90 hari atas tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang baru saja diluncurkannya seminggu lalu. Keputusan dramatis tersebut membuat Bursa saham kompak menghijau setelah beberapa waktu terakhir berada dalam tekanan.
Mengutip Reuters, Kamis (10/4/2025) hingga pukul 01.10 WIB, Indeks S&P 500 (.SPX) terpantau melonjak 346,20 poin atau 6,95% ke level 5.328,97 poin, sedangkan Nasdaq Composite (.IXIC) melejit 1.337,00 poin atau 8,76% ke level 16.604,92. Sementara Dow Jones Industrial Average (.DJI) menguat 2.197,52 poin atau 5,84% ke posisi 39.843,11.
Untuk diketahui, Donald Trump telah mengumumkan pada Kamis (10/4/2025) dini hari, bahwa skema tarif timbal balik yang lebih tinggi dihentikan sementara selama 90 hari sebagai tanggapan atas pendekatan dari puluhan negara.
Meski begitu, bea masuk atas impor dari China akan tetap dinaikkan menjadi 125% karena "kurangnya rasa hormat" dari pemerintah Beijing.
"Berdasarkan fakta bahwa lebih dari 75 Negara telah memanggil Perwakilan Amerika Serikat, termasuk Departemen Perdagangan, Keuangan, dan [Perwakilan Dagang AS], untuk merundingkan solusi atas pokok bahasan yang sedang dibahas terkait Perdagangan, Hambatan Perdagangan, Tarif, Manipulasi Mata Uang, dan Tarif Non Moneter, dan bahwa Negara-negara ini tidak, atas saran saya yang kuat, membalas dengan cara, bentuk, atau cara apa pun terhadap Amerika Serikat, saya telah mengesahkan Penghentian selama 90 hari, dan Tarif Timbal Balik yang diturunkan secara substansial selama periode ini, sebesar 10%, yang juga berlaku segera," tulis Trump di media sosial Truth dikutip dari New York Post, Kamis (10/4/2025).
Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, lanjut Trump, pihaknya akan menaikkan Tarif yang dikenakan Amerika Serikat kepada China menjadi 125%, yang akan berlaku dengan segera.
Baca Juga
"Pada suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS dan Negara-negara lain tidak lagi dapat dipertahankan atau diterima," pungkas Trump.
Menteri Keuangan Scott Bessent baru saja menegaskan bahwa ini bukan berarti Trump tunduk pada tekanan pasar. Namun, memang terlihat seperti itu.
Presiden dan rekan-rekan Republiknya telah menghadapi kritik pedas saat Wall Street mengalami pukulan terburuk sejak 2020. Para pemimpin bisnis dan ekonom juga tidak berbasa-basi, memperingatkan bahwa perang dagang besar-besaran akan mendorong AS ke wilayah resesi.
Saham-saham yang sangat tertekan oleh ketegangan perang dagang memimpin pemulihan pada Rabu sore. Apple dan Nvidia masing-masing melonjak lebih dari 11% dan 13%. Saham Walmart naik 9,7%. Saham Tesla naik lebih dari 19% setelah pengumuman penghentian sementara.
“Mengingat betapa tertekannya harga saham dan sentimen, penghentian sementara selama 90 hari memicu pemulihan yang hebat, dan menunda penerapan tentu saja menghilangkan beban besar di pasar,” kata analis saham Adam Crisafulli.
“Namun – tarif tidak akan hilang begitu saja. Tarif China sekarang berada di wilayah tiga digit, dan siapa tahu apa yang akan terjadi dalam 90 hari saat penghentian sementara ini berakhir," tambahnya.
Sebelum pengumuman jeda 90 hari, investor merasa gelisah atas meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dan Trump. UE juga telah menyetujui tarif pertama terhadap AS yang akan dimulai pada 15 April.
Meskipun demikian, saham cenderung naik pada sore hari. Para pedagang merasa gembira setelah Bessent menyatakan bahwa ia akan mengambil peran negosiasi utama dalam pembicaraan tarif. Presiden Trump juga mendesak investor bahwa sekarang adalah "waktu yang tepat untuk membeli" segera setelah pasar dibuka.
Kecemasan seputar penerapan tarif memicu penurunan saham selama empat hari. Selama empat sesi perdagangan sebelumnya, Dow kehilangan lebih dari 4.500 poin, sementara S&P 500 mengalami kerugian 12%. Nasdaq Composite turun lebih dari 13% dalam periode tersebut. Ini adalah kerugian yang tidak terlihat sejak pandemi.
Sebagai infromasi, Trump mengumumkan kebijakan tarif timbal balik kepada negara-negara yang dianggap merugikan AS. Merujuk pernyataan resmi Trump di situs resmi Gedung Putih AS, alasan pemberlakuan tarif impor bea masuk perdagangan itu adalah kurangnya timbal balik dalam hubungan dagang antara AS dengan negara-negara mitranya.
Kemudian, faktor perbedaan tarif dan hambatan non-tarif, serta kebijakan ekonomi negara mitra dagang AS yang dinilai menekan dan upah konsumsi dalam negeri, dipandang sebagai ancaman yang tidak biasa terhadap ketahanan ekonomi negara adidaya itu.
Melalui kebijakan itu, Trump menetapkan tarif impor sebesar 10% untuk semua negara, sedangkan negara-negara yang dianggap memiliki hambatan tinggi terhadap barang-barang AS menghadapi tarif lebih besar.
“Ini adalah deklarasi kemerdekaan kita,” kata Trump di Rose Garden, Gedung Putih, melansir Reuters pada Kamis (3/4/2025).
Mengutip data Bloomberg Economics, sebanyak 15 negara menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan terbesar dengan AS. China menempati posisi pertama dengan total nilai defisit mencapai US$295 miliar pada 2024.
Posisi selanjutnya ditempati oleh Meksiko yakni sebesar US$172 miliar, diikuti Vietnam US$123 miliar, Irlandia US$87 miliar, Jerman US$85 miliar, dan Taiwan US$74 miliar.
Jepang menyumbang defisit terhadap neraca perdagangan AS sebesar US$68 miliar, Korea Selatan US$66 miliar, Kanada US$64 miliar, dan India US$46 miliar.
Kemudian, Thailand menyumbang defisit US$46 miliar, Italia US$44 miliar, Swiss US$38 miliar, Malaysia US$25 miliar, dan Indonesia US$18 miliar.
Kendati begitu, tak semua negara penyumbang defisit terbesar diganjar tarif tinggi oleh Trump. Hanya Vietnam yang diketahui masuk dalam daftar negara penyumbang defisit neraca dagang AS terbesar, dan turut diganjar dengan tarif bea impor jumbo oleh Trump.
Adapun, tarif yang dikenakan ke Vietnam adalah 46%, menjadikannya sebagai negara terbesar kelima yang dikenakan tarif jumbo oleh Trump. Posisi pertama ditempati Lesotho yakni 50%, diikuti Kamboja 49%, Laos 48%, dan Madagaskar 47%.
Sementara itu, China dikenakan tarif sebesar 34%, Uni Eropa 20%, Bangladesh 37%, Thailand 36%, serta Taiwan dan Indonesia 32%.