Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom melihat fenomena anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG menjadi bukti sinyal alias alarm adanya masalah politik dan kebijakan pemerintah.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menyampaikan pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah.
Menurutnya, yang pertama dan terang benderang menjadi faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik.
“Yang harus dan wajib diingat oleh pemerintah, pemimpin dan pengambil keputusan lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik, sebaliknya masalah terbesar dari politik adalah ekonomi,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (21/3/2025).
Didik memandang kondisi IHSG sebagai alarm dan termometer yang mengukur kesehatan ekonomi, memperlihatkan kondisi krisis dengan indeks yang terjungkal dari tahun 2024.
Dalam catatan Bisnis, indeks meninggalkan level 7.163 menjadi 6.246 pada jeda perdagangan siang ini, Jumat, 21 Maret 2025.
Baca Juga
Faktor ekonomi turut ambil bagian sebagai penyebab anjloknya IHSG pada awal pekan ini, selain faktor politik.
Didik melihat meski kebijakan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang gegap gempita dan super singkat dipadankan dengan Temasek, namun ide yang dikemas dalam kebijakan yang asal-asalan bisa menjadi bumerang.
Kebijakan ekonomi pembentukan BPI Danantara mengais reaksi pasar yang frontal. Investor asing kabur membawa Rp24 triliun, termasuk Rp3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan tanggal 24 Februari 2025
“Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah, DPR, kabinet seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan diterima pasar,” kritik Didik.
Dari sisi fiskal, dia menyampaikan bahwa perilaku kebijakan melenceng, agresif kurang berdasar faktual, defisit anggaran melebar, penerimaan pajak seret dan banyak lagi program pemerintah yang menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar.
Ketidakpercayaan terhadap APBN pun tercermin karena pemerintah berkali-kali menyangkal kritik publik terkait posisi utang pemerintah yang mencapai Rp8.909,14 triliun pada akhir Januari 2025.
“Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak prudent,” tambah Didik.
Melihat sumber masalah sangat jelas bagi Didik, menjadi keputusan pemerintah apakah akan membuka diri untuk perbaikan atau tidak.