Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah anjlok lebih dari 1% pada Kamis (13/3/2025), tertekan oleh kekhawatiran bahwa perang dagang yang dipicu Amerika Serikat dapat menghambat permintaan global, serta ketidakpastian mengenai upaya gencatan senjata Rusia-Ukraina yang diusulkan AS.
Melansir Reuters, Jumat (14/3/2025), minyak mentah Brent ditutup turun US$1,07 atau 1,5% ke US$69,88 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) AS melemah US$1,13 atau 1,7% ke US$66,55 per barel.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan pasokan minyak global tahun ini berpotensi melampaui permintaan hingga 600.000 barel per hari. Proyeksi pertumbuhan permintaan global pun direvisi turun menjadi 1,03 juta barel per hari, lebih rendah 70.000 barel dari estimasi bulan sebelumnya.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang pasar dengan ancaman tarif 200% terhadap anggur, cognac, dan minuman beralkohol dari Eropa. Langkah ini membuka babak baru dalam perang dagang global, memicu kecemasan investor atas potensi hambatan perdagangan yang lebih luas.
Analis senior Price Futures Group Phil Flynn mengatakan ketegangan ini mengguncang kepercayaan pelaku pasar. Indeks saham AS tertekan, menekan sentimen minyak meskipun fundamental pasar menunjukkan kondisi yang lebih ketat dari perkiraan.
"Pasar saat ini terjebak dalam tarik-menarik antara data fundamental yang mendukung harga dan kekhawatiran tarif yang berpotensi membebani permintaan," ujar Flynn.
Baca Juga
Sementara itu, Presiden Lipow Oil Associates Andrew Lipow mengatakan ekspektasi pertumbuhan permintaan minyak pada 2025 kini semakin bergantung pada perkembangan kebijakan tarif dan respons balik dari negara mitra dagang AS.
Di sisi geopolitik, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa Moskow setuju dengan proposal AS untuk menghentikan pertempuran, tetapi menegaskan bahwa gencatan senjata harus membawa solusi jangka panjang bagi konflik tersebut.
Namun, analis UBS Giovanni Staunovo tetap skeptis bahwa gencatan senjata akan secara signifikan meningkatkan pasokan minyak Rusia di pasar global.
Sementara itu, analis Citi memperkirakan harga minyak Brent akan turun ke kisaran US$60 per barel pada paruh kedua 2025, mengingat kebijakan Trump yang berfokus pada stabilitas harga bahan bakar di dalam negeri.
Dari sisi produksi, OPEC melaporkan lonjakan output pada Februari, dengan Kazakhstan sebagai kontributor utama. Meskipun begitu, kelompok produsen minyak ini terus berupaya menegakkan kepatuhan terhadap target produksi, sembari bersiap untuk secara bertahap mencabut pemangkasan pasokan.
Faktor lain yang membebani pasar adalah merosotnya permintaan bahan bakar pesawat. JP Morgan mencatat bahwa berdasarkan data Administrasi Keamanan Transportasi AS, jumlah penumpang pada Maret turun 5% dibanding tahun lalu, menyusul stagnasi lalu lintas di Februari.
Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, JP Morgan juga melaporkan bahwa hingga 11 Maret, permintaan minyak global telah mencapai rata-rata 102,2 juta barel per hari, meningkat 1,7 juta barel dibanding tahun lalu dan melebihi perkiraan kenaikan bulanan sebesar 60.000 barel per hari.