Bisnis.com, JAKARTA — Emiten BUMN Karya, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA) telah gagal melunasi obligasi serta sukuk yang telah jatuh tempo bulan ini. WIKA pun telah melaporkan kondisi usaha industri konstruksi yang menantang, termasuk penurunan kontrak baru pada 2024.
Sebagaimana diketahui, pada 2022, WIKA telah menerbitkan Obligasi Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 Seri A senilai Rp593,95 miliar. WIKA juga menerbitkan Sukuk Mudharabah II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 Seri A dengan jumlah pokok yang ditawarkan sebesar Rp412,90 miliar. Obligasi serta sukuk itu jatuh tempo pada 18 Februari 2025.
Sementara, mengacu surat PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 17 Februari 2025, WIKA telah menunda pembayaran pokok obligasi serta sukuknya yang jatuh tempo pada 18 Februari 2025 itu.
Atas kondisi tersebut, Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan suspensi atau menghentikan sementara saham WIKA. Dalam pengumumannya, BEI menilai gagalnya pelunasan obligasi dan sukuk mengindikasikan adanya permasalahan pada kelangsungan usaha WIKA.
"Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara perdagangan efek WIKA di seluruh pasar," tulis BEI di pengumumannya pada Selasa (18/2/2025).
Penghentian sementara saham WIKA terhitung sejak prapembukaan perdagangan efek pada 18 Februari 2025, hingga pengumuman Bursa lebih lanjut.
Dalam keterbukaan informasi baru-baru ini, Manajemen WIKA juga menjelaskan bahwa perseroan masih dalam keterbatasan likuiditas yang dilatar belakangi kondisi usaha industri konstruksi yang menantang. Kondisi tersebut didorong oleh adanya penurunan tender proyek pada 2024, baik pemerintah, BUMN maupun swasta.
"Penurunan perolehan kontrak baru mengakibatkan turunnya penjualan sehingga membuat arus kas masuk menurun," tulis Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya Mahendra Vijaya di keterbukaan informasi pada akhir pekan lalu (14/2/2025).
Sebelumnya, WIKA melaporoan telah membukukan kontrak baru sebesar Rp20,7 triliun pada 2024. Jumlah itu turun dari realisasi tahun sebelumnya yang meraih Rp29,1 triliun.
Mahendra mengatakan bahwa perolehan kontrak baru pada tahun lalu mayoritas berasal dari sektor infrastruktur dan gedung dengan kontribusi mencapai 42% dari total nilai kontrak baru. Selanjutnya, sektor industri memiliki porsi sebesar 32% dari total nilai kontrak baru, sektor engineering, procurement, construction, and commissioning (EPCC) berkontribusi hingga 20%, dan sektor properti menyumbang 6%.
WIKA juga mengalami keterbatasan unrestrictred cash dikarenakan penyerapan penyertaan modal negara (PMN) yang diterima pada 2024 belum dapat dilakukan sesuai rencana awal akibat adanya dinamika kebijakan dan kondisi proyek.
Mahendra Vijaya menjelaskan bahwa dalam upaya menghadapi pembayaran obligasi serta sukuk yang jatuh tempo bulan ini, WIKA telah menyelenggarakan rapat umum pemegang obligasi (RUPO) dan rapat umum pemegang sukuk (RUPSU) sebanyak dua kali. Pelaksanaan RUPO dan RUPSU terakhir berlangsung pada 4 Februari 2025.
Adapun dari pelaksanaan RUPO dan RUPSU memberikan hasil bahwa rapat belum dapat mengambil suatu keputusan atas usulan perseroan. Sementara berdasarkan perjanjian perwaliamanatan, RUPO dan RUPSU dapat diadakan kembali paling cepat 28 hari dari tanggal pelaksanaan RUPO dan RUPSU terakhirnya. Dengan kondisi tersebut, tidak dimungkinkan lagi bagi perseroan untuk mengajukan RUPO dan RUPSU sebelum utang jatuh tempo.
Perseroan pun menyatakan belum dapat melakukan pembayaran atas keseluruhan nilai obligasi dan sukuk atau sesuai dengan usulan perseroan, yakni pembayaran sebagian dan perpanjangan atas sisanya maksimal dua tahun dengan opsi beli (call option) pada saat jatuh tempo 18 Februari 2025.
Apabila RUPO dan RUPSU dapat menyetujui usulan perseroan, maka sumber dana untuk memenuhi pembayaran obligasi dan sukuk berasal dari kas internal perseroan. Di sisi lain, seiring dengan kondisi keterbatasan likuiditas, WIKA berupaya menjalankan berbagai strategi.
"Memaksimalkan penerimaan cash in melalui percepatan produksi proyek berjalan sesuai ketersediaan anggaran pemberi kerja untuk mencegah adanya cost overrun, percepatan penagihan piutang progres atas piutang yang telah diakui," tulis Mahendra Vijaya.