Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah diperkirakan melanjutkan pelemahan pada perdagangan pekan ini. Analis memperkirakan rupiah bergerak menuju level Rp16.342 per dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup naik 0,36% atau 58,5 poin ke posisi Rp16.282 per dolar AS pada Jumat (8/2/2025). Pada saat yang sama, indeks dolar melemah 0,03% ke posisi 107,520.
Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi menjelaskan fokus pelaku pasar masih tertuju pada perang dagang dengan Trump yang akan mengenakan bea impor ke beberapa negara yang belum disebutkan negara mana saja.
"Nah, bisa saja Uni Eropa akan kena karena yang disebutkan adalah banyak negara. Ini yang mengkhawatirkan pasar sehingga indeks dolar terus mengalami penguatan," kata Ibrahim, Minggu (9/2/2025).
Dengan sentimen tersebut, Ibrahim menuturkan kemungkinan besar untuk perdagangan besok, rupiah masih akan mengalami pelemahan walaupun tidak signifikan.
Ibrahim memperkirakan untuk perdagangan hari ini, Senin (10/2/2025), rupiah dapat melemah 60 poin dan parkir di level Rp16.342 per dolar AS.
Adapun Ibrahim melihat Bank Indonesia (BI) belum akan menurunkan suku bunga lagi pada bulan Februari ini. Dia mencermati dengan kondisi perang dagang saat ini, BI akan mempertahankan suku bunganya.
"Kalau seandainya BI menurunkan suku bunga, ini tidak ada artinya sama sekali seperti di bulan Januari kemarin, dengan bank sentral yang menurunkan suku bunga 25 bps, tidak berdampak ke penguatan rupiah," tuturnya.
Ibrahim melihat dalam kondisi saat ini, yang terbaik bagi Bank Indonesia adalah mempertahankan suku bunga acuannya.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah tercatat belum pernah kembali menyentuh level Rp15.000-an sejak awal tahun 2025.
Bahkan, rupiah sempat menyentuh level Rp16.448 per dolar AS di awal pekan ini, yang merupakan level pelemahan terdalam. Adapun level tertinggi penguatan rupiah terhadap dolar AS adalah pada Rp16.143 pada 7 Januari 2025.
Dalam kesempatan terpisah, Head of Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menuturkan emiten yang memiliki utang dalam dolar AS akan semakin berdampak negatif akibat pelemahan rupiah ini, sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
"Emiten dengan utang dalam dolar AS, terlebih dengan dominasi 50% akan cenderung semakin tertekan dengan pembayaran utang yang lebih tinggi dalam rupiah," ucap Audi, Jumat (7/2/2025).
Pelemahan rupiah ini menurutnya membawa dampak yang berbeda bagi sejumlah emiten di sektor tertentu. Adapun, emiten yang tertekan akibat depresiasi rupiah ini adalah emiten yang berorientasi impor, seperti farmasi yang bahan baku obatnya masih didominasi impor, serta industri otomotif yang komponennya juga diimpor dalam dolar AS.
Di sisi lain, depresiasi rupiah bisa membawa dampak positif kepada emiten yang berorientasi ekspor, seperti komoditas batu bara, nikel, dan minyak mentah, serta manufaktur.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.