Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari dua bulan seiring dengan sikap pasar yang beralih ke aset safe haven di tengah ketidakpastian seputar potensi tarif Presiden AS Donald Trump.
Sementara itu, harga batu bara dan CPO turut melanjutkan kenaikan harga.
Mengutip Reuters pada Rabu (22/1/2025), harga emas di pasar spot naik 1,3% menjadi US$2.742,48 per ons, mencapai level tertinggi sejak 6 November dan mendekati level tertinggi sepanjang masa di US$2.790,15 yang terjadi pada Oktober 2024. Sementara itu, harga emas berjangka AS terpantau naik 0,4% menjadi US$2.759,20.
Indeks dolar AS terpantau turun 1,2%, bertahan mendekati level terendah dua minggu yang dicapai pada sesi sebelumnya dan membuat emas batangan lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
"Pergerakan hari ini sebagian besar terkait dengan ancaman tarif menyeluruh AS setelah pelantikan Trump. Informasi terkait potensi tarif hanya muncul sedikit," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities.
Presiden AS Trump belum memberikan perincian spesifik tentang tarif universal atau biaya tambahan pada mitra dagang utama, yang merupakan bagian penting dari kampanye pemilihannya. Namun, dia telah mengisyaratkan kemungkinan mengenakan bea masuk pada barang-barang Kanada dan Meksiko paling cepat pada tanggal 1 Februari.
Baca Juga
Selama tahun pertama pemerintahan pertama Trump pada tahun 2017, emas batangan mencatat kenaikan tahunan sebesar 13%, kinerja tahunan terbaiknya dalam tujuh tahun.
Harga Batu Bara
Berdasarkan data dari BarChart, harga batu bara kontrak Febaruari 2025 di ICE Newcastle naik 2,43% ke level US$124,45 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 menguat 3,03% ke level US$127,60 per metrik ton.
Melansir Reuters, importir batu bara terbesar di dunia, China, tercatat membeli lebih sedikit batu bara Rusia pada 2024 sambil meningkatkan pembelian dari pemasok utama lainnya, yang dipimpin oleh Australia, selama tahun rekor impor batu bara.
Data dari LSEG mencatat, pembelian oleh China tahun lalu mencapai rekor tertinggi sebesar 547,2 juta ton, atau mencakup 41% dari total batu bara yang diperdagangkan secara global. Hal ini memberikan China kekuatan lebih besar dalam penetapan harga di pasar internasional.
Permintaan China membantu mendukung harga pada level yang menurut Badan Energi Internasional (IEA) 50% lebih tinggi dari rata-rata selama periode 2017-19.
Tahun lalu, impor China dari pemasok utama, Indonesia, naik 8% menjadi 236,99 juta ton, meskipun angka tersebut tertinggal dari pertumbuhan impor batu bara secara keseluruhan sebesar 14,4%.
Meskipun tetap menjadi pemasok batu bara nomor dua bagi China, Rusia adalah satu-satunya produsen utama yang pengirimannya ke China turun pada 2024. Tercatat, impor China dari Rusia turun 7% dari level 2023 menjadi 93,86 juta ton.
Tim Analis di Galaxy Futures dalam sebuah laporan menyebut, industri batu bara Rusia menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi daripada pesaing. Hal ini diperparah oleh masalah kapasitas rel yang telah menaikkan tarif angkutan batu bara.
"Karena kapasitas angkutan yang terbatas, rel kereta api telah memilih untuk memprioritaskan pengangkutan barang bernilai tinggi daripada batu bara," demikian kutipan laporan tersebut.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Selasa (21/1/2025) kontrak Februari 2025 menguat 39 poin ke 4.509 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga naik sebesar 54 poin pada level 4.358 ringgit per ton.
Hasil Jajaki Pendapat Reuters memproyeksikan harga CPO pada 2025 diperkirakan akan naik dibandingkan tahun lalu seiring dengan upaya negara produsen utama, Indonesia, dalam meningkatkan konsumsi biodiesel berbasis minyak sawit.
Meski demikian, kompetisi dari pesaing yang lebih murah diperkirakan akan membatasi kenaikan tersebut. Harga minyak sawit acuan akan mencapai rata-rata 4.350 ringgit ($972,07) per metrik ton tahun ini, naik 5,4% dari tahun 2024, menurut estimasi median dari 11 pedagang, analis, dan pelaku industri.
Harga penutupan CPO rata-rata sebesar 4.128 ringgit per ton pada tahun lalu 8,7% lebih tinggi dari tahun sebelumnya, karena cuaca buruk mengganggu pasokan, sehingga pasar mencapai titik tertinggi dalam 2,5 tahun pada bulan November.
Anilkumar Bagani, kepala penelitian di pialang minyak nabati Sunvin Group mengatakan, mandat biodiesel B40 Indonesia akan mengakibatkan berkurangnya ketersediaan ekspor, yang pada gilirannya akan menguntungkan ekspor minyak sawit Malaysia.
"Rencana peningkatan rasio campuran biodiesel Indonesia menjadi 40% pada tahun 2025 diharapkan dapat menyerap tambahan 1,2 hingga 1,7 juta metrik ton CPO," kata CEO Asosiasi Minyak Sawit Malaysia, Roslin Azmy Hassan.
Dia melanjutkan, penurunan ekspor minyak sawit dari Indonesia, ditambah dengan cuaca buruk di Asia Tenggara, kemungkinan juga akan mendukung kenaikan harga.
Hassan mengatakan, pasar dapat memperoleh dorongan tambahan jika Indonesia menaikkan pungutan ekspor untuk mendukung kebijakan biodieselnya.