Bisnis.com, JAKARTA — Status PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex sebagai perusahaan tercatat di Bursa akan hilang setelah inkrah diputuskan pailit oleh Mahkamah Agung (MA).
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan sehubungan dengan pemberitaan mengenai putusan pailit inkrah SRIL, Bursa telah menyampaikan permintaan penjelasan dan reminder kepada perseroan untuk menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik mengenai tindaklanjut serta rencana ke depan.
Sebelumnya, Bursa telah melakukan penghentian sementara perdagangan efek SRIL di seluruh pasar sejak 18 Mei 2021. Saat itu, SRIL menghadapi penundaan pembayaran pokok dan bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 ke-6. Bursa kemudian melanjutkan penghentian sementara perdagangan efek SRIL di seluruh pasar sejak 28 Oktober 2024 hingga sampai saat ini karena SRIL berada dalam keadaan pailit.
Seiring dengan kondisi pailit dan telah inkrah, terdapat potensi delisting atau penghapusan status perusahaan tercatat di Bursa atas saham SRIL.
"Saat ini Bursa terus memantau perkembangan SRIL terhadap kondisi-kondisi tersebut dan telah melakukan pengumuman potensi delisting setiap 6 bulan," ujar Nyoman dalam jawaban tertulis pada beberapa waktu lalu.
Mengacu ketentuan BEI, delisting atas suatu saham dapat terjadi karena beberapa kondisi. Pertama, perusahaan tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Baca Juga
Kedua, saham perusahaan tercatat telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
Namun, sebelumnya Nyoman mengatakan bahwa Bursa juga tidak serta-merta mendepak paksa emiten dari pasar modal. BEI akan mengumumkan potensi delisting sebanyak empat kali, jika emiten disuspensi sahamnya dalam kurun waktu 6 bulan hingga 24 bulan.
Pada masing-masing pengumuman itu, bursa menyampaikan potensi delisting. Setiap proses, bursa meminta penjelasan atau hearing dengan jajaran direksi, komisaris, bahkan founder perseroan.
Di sisi lain, saat ini 8.158.734.000 atau 39,89% saham SRIL tercatat dimiliki oleh masyarakat. Nyoman mengatakan, dalam upaya perlindungan investor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 3 Tahun 2021, perusahaan wajib melakukan buyback saham publik sampai dengan jumlah sahamnya kurang dari 50 pihak atau jumlah lain yang ditetapkan oleh OJK.
Sebagaimana diketahui, MA telah menolak permohonan SRIL lewat sidang putusan kasasi yang dibacakan langsung Ketua Majelis Hakim Agung Hamdi pada Rabu (18/12/2024).
Belakangan, tim kurator Sritex mengumumkan daftar harta dan tagihan sementara dari perkara kepailitan Sritex dan entitas afiliasinya itu. Total utang yang diajukan mencapai Rp32,63 triliun per 13 Desember 2024.
Tercatat utang tanpa jaminan dari kreditur konkruen diajukan paling besar. Totalnya mencapai Rp24,73 triliun. Sementara utang berjaminan alias kreditur separatis mencapai Rp7,2 triliun. Sisanya berasal dari kreditur preferen seperti kantor pajak dan karyawan.
Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto mengatakan, pihaknya menghormati putusan MA tersebut dan telah melakukan konsolidasi internal. Pihaknya memutuskan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
“Upaya hukum ini kami tempuh, agar kami dapat menjaga keberlangsungan usaha, dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 50.000 karyawan yang telah bekerja bersama-sama kami selama puluhan tahun,” kata Iwan melalui keterangan resminya, Jumat (20/12/2024).
Selama proses pengajuan kasasi ke MA, Iwan menerangkan bahwa Sritex telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan usahanya, dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagaimana pesan disampaikan pemerintah.
“Kami berupaya semaksimal mungkin menjaga situasi perusahaan agar tetap kondusif, di tengah berbagai keterbatasan gerak akibat status pailit kami. Upaya kami tidak mudah karena berkejaran dengan waktu, juga keterbatasan sumber daya,” tuturnya.