Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa Karbon Masih Sepi, BEI Harap Ada Penerapan Insentif & Sanksi pada 2025

BEI berharap adanya penerapan insentif dan sanksi oleh pemerintah terkait karbon di perusahaan tercatat pada 2025 guna menggenjot transaksi bursa karbon.
BEI berharap adanya penerapan insentif dan sanksi oleh pemerintah terkait karbon di perusahaan tercatat pada 2025 guna menggenjot transaksi bursa karbon./ilustrasi
BEI berharap adanya penerapan insentif dan sanksi oleh pemerintah terkait karbon di perusahaan tercatat pada 2025 guna menggenjot transaksi bursa karbon./ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Aktifitas perdagangan di bursa karbon Indonesia atau IDXCarbon masih sepi setelah setahun bergulir. Bursa Efek Indonesia (BEI) berharap adanya penerapan insentif dan sanksi oleh pemerintah terkait karbon di perusahaan tercatat pada 2025 guna menggenjot transaksi bursa karbon.

Berdasarkan data BEI, volume transaksi perdagangan bursa karbon Indonesia telah mencapai 613.894 ton CO2e dengan nilai transaksi Rp37,06 miliar, sejak diluncurkan setahun lalu, pada 26 September 2023. Adapun pengguna jasa karbon saat ini mencapai 81.

Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad mengatakan memang saat ini bisa dibilang likuiditas di bursa karbon tidak terlalu tinggi. "Ekosistem belum terbangun, belum ada insentif dan sanksi yang diciptakan. Oleh karena itu, dari market, masih diisi secara sukarela," ujarnya dalam Mangrove Project – Untuk SATU Bumi oleh CGS International Sekuritas Indonesia pada Sabtu (30/11/2024).

Ia mengatakan pada tahun depan, terdapat peluang peningkatan transaksi di bursa karbon. "Harapannya di tahun depan inisiatif pemerintah, semakin selaras dengan bagaimana menyemarakkan bursa karbon, caranya menciptakan insentif dan regulasi berupa sanksi jika [perusahaan] mencapai emisi tertentu," tutur Kautsar.

Selain itu, dengan adanya insentif dan sanksi dari pemerintah, maka menurutnya target nol bersih emisi atau net zero emission pada 2050 pun bisa tercapai. Sebagaimana diketahui, pemerintahan baru di bawah Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan Indonesia bisa mencapai target net zero emission sebelum 2050. Target tersebut lebih cepat 10 tahun dari target pemerintahan sebelumnya, yaitu emisi nol pada 2060.

Sebelumnya, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan sepinya perdagangan bursa karbon sebenarnya terjadi secara global. "Penggunaan offset net zero memang luar biasa menurun," ujarnya setelah acara Ring The Bell for Climate dan Closing Ceremony IDX Net Zero Incubator pada beberapa waktu lalu (20/11/2024).

Angka perdagangan di bursa karbon Indonesia yang telah mencapai 613.894 ton CO2e menurutnya lebih tinggi dibandingkan bursa di negara lain, seperti bursa Malaysia dan bursa Jepang yang telah lebih dahulu meluncur. "Ini menandakan ada tekanan terhadap karbon kredit," kata Ignatius.

Adapun, alasan lesunya bursa karbon global menurutnya dipengaruhi salah satunya oleh fenomena greenwashing, atau teknik pemasaran yang dilakukan perusahaan guna menciptakan citra ramah lingkungan, namun menyesatkan.

Dilansir dari Bloomberg, Otoritas Sekuritas dan Bursa Eropa atau European Securities and Markets Authority (ESMA) melakukan tinjauan terhadap lebih dari 200 bank dan manajer aset selama dua tahun. Terdapat indikasi bahwa praktik environmental, social, and governance (ESG) tidak berjalan 'hijau' sebagaimana mestinya.

Otoritas juga menemukan bahwa sejumlah industri keuangan di Eropa gencar menggembar-gemborkan kredensial ESG mereka tanpa memberikan dokumentasi. Hal itu pun memicu kekhawatiran baru soal praktik greenwashing yang besar.

"Akan tetapi ini [greenwashing] harusnya segera dinavigasi dengan baik," tutur Ignatius.

Selain itu, di Indonesia sendiri belum terdapat ketentuan terkait pajak karbon. Menurut Ignatius, apabila terdapat pajak karbon, maka bursa karbon wajib akan mendapatkan dorongan.

"Ada dorongan penurunan emisi ataupun trading karbon, supaya perusahaan tidak kena pajak, maka [bursa karbon] akan jauh meningkat," ujarnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar juga mengatakan dalam mendongkrak perdagangan di bursa karbon Indonesia memang dibutuhkan peran pemerintah. Sebab, produk karbon yang terserap nantinya menjadi kewenangan pemerintah.

"Mulai dari produk karbon, registrasinya, sertifikasinya, surveinya, dan semua dari sisi pasokan. Dari sisi permintaan juga dilakukan pengembangan ekosistemnya," kata Mahendra.

Sejauh ini, menurutnya juga belum ada batas atas emisi maksimum di industri. Alhasil, tidak ada insentif atau disinsentif untuk pengurangan karbon. 

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper