Bisnis.com, JAKARTA — Aktifitas perdagangan di bursa karbon Indonesia atau IDXCarbon masih sepi setelah setahun bergulir. Bursa Efek Indonesia (BEI) berharap adanya penerapan insentif dan sanksi oleh pemerintah terkait karbon di perusahaan tercatat pada 2025 guna menggenjot transaksi bursa karbon.
Berdasarkan data BEI, volume transaksi perdagangan bursa karbon Indonesia telah mencapai 613.894 ton CO2e dengan nilai transaksi Rp37,06 miliar, sejak diluncurkan setahun lalu, pada 26 September 2023. Adapun pengguna jasa karbon saat ini mencapai 81.
Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad mengatakan memang saat ini bisa dibilang likuiditas di bursa karbon tidak terlalu tinggi. "Ekosistem belum terbangun, belum ada insentif dan sanksi yang diciptakan. Oleh karena itu, dari market, masih diisi secara sukarela," ujarnya dalam Mangrove Project – Untuk SATU Bumi oleh CGS International Sekuritas Indonesia pada Sabtu (30/11/2024).
Ia mengatakan pada tahun depan, terdapat peluang peningkatan transaksi di bursa karbon. "Harapannya di tahun depan inisiatif pemerintah, semakin selaras dengan bagaimana menyemarakkan bursa karbon, caranya menciptakan insentif dan regulasi berupa sanksi jika [perusahaan] mencapai emisi tertentu," tutur Kautsar.
Selain itu, dengan adanya insentif dan sanksi dari pemerintah, maka menurutnya target nol bersih emisi atau net zero emission pada 2050 pun bisa tercapai. Sebagaimana diketahui, pemerintahan baru di bawah Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan Indonesia bisa mencapai target net zero emission sebelum 2050. Target tersebut lebih cepat 10 tahun dari target pemerintahan sebelumnya, yaitu emisi nol pada 2060.
Sebelumnya, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan sepinya perdagangan bursa karbon sebenarnya terjadi secara global. "Penggunaan offset net zero memang luar biasa menurun," ujarnya setelah acara Ring The Bell for Climate dan Closing Ceremony IDX Net Zero Incubator pada beberapa waktu lalu (20/11/2024).
Baca Juga
Angka perdagangan di bursa karbon Indonesia yang telah mencapai 613.894 ton CO2e menurutnya lebih tinggi dibandingkan bursa di negara lain, seperti bursa Malaysia dan bursa Jepang yang telah lebih dahulu meluncur. "Ini menandakan ada tekanan terhadap karbon kredit," kata Ignatius.
Adapun, alasan lesunya bursa karbon global menurutnya dipengaruhi salah satunya oleh fenomena greenwashing, atau teknik pemasaran yang dilakukan perusahaan guna menciptakan citra ramah lingkungan, namun menyesatkan.
Dilansir dari Bloomberg, Otoritas Sekuritas dan Bursa Eropa atau European Securities and Markets Authority (ESMA) melakukan tinjauan terhadap lebih dari 200 bank dan manajer aset selama dua tahun. Terdapat indikasi bahwa praktik environmental, social, and governance (ESG) tidak berjalan 'hijau' sebagaimana mestinya.
Otoritas juga menemukan bahwa sejumlah industri keuangan di Eropa gencar menggembar-gemborkan kredensial ESG mereka tanpa memberikan dokumentasi. Hal itu pun memicu kekhawatiran baru soal praktik greenwashing yang besar.
"Akan tetapi ini [greenwashing] harusnya segera dinavigasi dengan baik," tutur Ignatius.
Selain itu, di Indonesia sendiri belum terdapat ketentuan terkait pajak karbon. Menurut Ignatius, apabila terdapat pajak karbon, maka bursa karbon wajib akan mendapatkan dorongan.
"Ada dorongan penurunan emisi ataupun trading karbon, supaya perusahaan tidak kena pajak, maka [bursa karbon] akan jauh meningkat," ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar juga mengatakan dalam mendongkrak perdagangan di bursa karbon Indonesia memang dibutuhkan peran pemerintah. Sebab, produk karbon yang terserap nantinya menjadi kewenangan pemerintah.
"Mulai dari produk karbon, registrasinya, sertifikasinya, surveinya, dan semua dari sisi pasokan. Dari sisi permintaan juga dilakukan pengembangan ekosistemnya," kata Mahendra.
Sejauh ini, menurutnya juga belum ada batas atas emisi maksimum di industri. Alhasil, tidak ada insentif atau disinsentif untuk pengurangan karbon.